BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Desensitisasi sistematis (juga
dikenal sebagai terapi paparan lulus atau counterconditioning) adalah jenis
terapi perilaku digunakan dalam bidang psikologi untuk membantu secara efektif
mengatasi fobia dan gangguan kecemasan lainnya. Lebih khusus lagi, itu adalah
jenis terapi Pavlov dikembangkan oleh psikiater Afrika Selatan, Joseph Wolpe.
Pada tahun 1950, Wolpe menemukan bahwa kucing dari Universitas Wits bisa
mengatasi ketakutan mereka melalui paparan bertahap dan sistematis.
Proses desensitisasi sistematis terjadi dalam
tiga langkah.. Langkah pertama
desensitisasi sistematis adalah penciptaan hirarki merangsang kecemasan
stimulus. Langkah kedua adalah
belajar dari relaksasi atau teknik mengatasi. Setelah individu telah diajarkan
keterampilan ini, ia harus menggunakannya dalam langkah ketiga untuk bereaksi terhadap dan mengatasi situasi dalam hirarki
mapan ketakutan. Tujuan dari proses ini adalah untuk individu untuk belajar
bagaimana untuk mengatasi, dan mengatasi rasa takut dalam setiap langkah
hirarki.
Untuk lebih jelas mengenai
desentisisasi sitenmatis ini kami akan memberikan penjelasan lebih rinci
berikut ini.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimana
konsep teknik desensitisasi sistematik
2. Bagaimana
konsep kecemasan
3. Bagaimana
konsep fobia
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Teknik Desensitisasi Sistematik
1.
PengertianTeknik Desensitisasi Sistematik
Teknik desensitisasi
sistematik merupakan salah satu teknik perubahan perilaku yang didasari oleh pendekatan
konseling behavioral. Pendekatan konseling behavioral memandang manusia atau
kepribadian manusia pada hakikatnya adalah perilaku yang dibentuk berdasarkan
hasil pengalaman dari interaksi individu dengan lingkungannya
Perhatian konseling
behavioral adalah pada perilaku yang nampak, sehingga konseling behavioral
mendasarkan diri pada penerapan teknik dan prosedur yang berakar pada teori
belajar, yakni menerapkan prinsip-prinsip belajar secara sistematis dalam
proses perubahan perilaku menuju ke arah yang lebih adaptif. Untuk
menghilangkan kesalahan dalam belajar dan berperilaku serta untuk mengganti
dengan pola-pola perilaku yang lebih dapat menyesuaikan. Salah satu aspek yang
paling penting dalam memodifikasi perilaku adalah menekankan pada tingkah laku
yang didefinisikan secara operasional, teramati dan terukur.
Menurut Willis (2004:
70) tujuan konseling behavioral adalah untuk membantu konseli membuang
respon-respon yang lama yang merusak diri dan mempelajari respon-respon baru
yang lebih sehat.
Rahmawati menjelaskan ciri-ciri
pendekatan konseling behavioral yaitu:
a. Pemusatan
perhatian pada tingkah laku yang tampak dan spesifik.
b. Memerlukan
kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, misalnya mengubah kebiasaan tertentu.
c. Mengembangkan
prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah konseli.
d. Penaksiran
objektif atas hasil-hasil konseling.
Pendekatan konseling
behavioral memiliki sejumlah teknik spesifik yang digunakan dalam melakukan perubahan perilaku
berdasarkan tujuan yang akan dikehendaki atau dicapai. Salah satu teknik dalam
pendekatan konseling behavioral yaitu desensitisasi sistematik. Desensistisasi
sistematik merupakan teknik yang digunakan untuk menghapus perilaku yang
diperkuat secara negatif, biasanya berupa kecemasan dan disertakan respon yang
berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Respon-respon yang tidak
dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap melalui pengkondisian klasik.
Desensitisasi sistematik sering digunakan untuk mengurangi maladaptasi
kecemasan yang dipelajari lewat conditioning (seperti fobia) tetapi dapat juga
diterapkan pada masalah lain
Desensitisasi
sistematik dikembangkan dalam konseling behavioral pada awal tahun 1950 oleh
Joseph Wolpe. Asumsi dasar teknik ini adalah respon ketakutan merupakan
perilaku yang dipelajari dan dapat dicegah dengan menggantikan aktivitas yang
berlawanan dengan respon ketakutan tersebut. Respon khusus yang dihambat oleh
proses perbaikan (treatment ) ini adalah kecemasan-kecemasan atau perasaan
takut yang kurang beralasan dan respon yang sering dijadikan pengganti atas
kecemasan tersebut adalah rileksasi atau penenangan. Prinsip dasar
desensitisasi adalah memasukkan suatu respon yang bertentangan dengan kecemasan
yaitu rileksasi
Joseph Wolpe (Willis,
2004: 71) menjelaskan bahwa semua
perilaku neurotic adalah ekspresi dari kecemasan dan respon terhadap kecemasan
dapat dieliminasi dengan menemukan respon yang antagonistik. Perangsang yang
menimbulkan kecemasan secara berulang-ulang dipasangkan dengan keadaan
relaksasi sehingga hubungan antara perangsang dengan respon terhadap kecemasan
dapat dieliminasi.
Menurut Willis (2004:
96) desensitisasi adalah suatu teknik untuk mengurangi respon emosional yang
menakutkan, mencemaskan atau tidak menyenangkan melalui aktivitas-aktivitas
yang bertentangan dengan respon yang menakutkan itu.
2. Tujuan Teknik
Desensitisasi Sistematik
Fauzan menjelaskan
tujuan teknik desensitisasi sistematik adalah:
a. Teknik
desensitisasi sistematik bertujuan mengajarkan konseli untuk memberikan respon
yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseling.
b. Mengurangi
sensitifitas emosional yang berkaitan dengan kecemasan, kelainan pribadi atau
masalah sosial.
Menurut Willis (2004:
71) teknik desensitisasi sistematik bertujuan mengajarkan konseli untuk
memberikan respon yang tidak konsisten dengan kecemasan yang dialami konseli.
Teknik ini mengajarkan konseli untuk santai dan menghubungkan keadaan santai
itu dengan membayangkan pengalaman yang mencemaskan,
menggusarkan atau mengecewakan. Situasi yang dihadirkan disusun secara sistematis dari yang kurang
mencemaskan hingga yang paling mencemaskan.
3. Manfaat Teknik
Desensitisasi Sitematik
Menurut Fauzan desensitisasi
sistematik merupakan teknik yang digunakan untuk melemahkan respon terhadap
stimulus yang tidak menyenangkan dan mengenalkan stimulus yang berlawanan
(menyenangkan). Dengan pengkondisian klasik, respon-respon yang tidak
dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Adapun manfaat dari teknik
desensitisasi sistematik antara lain:
a.
Desensitisasi sistematik sering
digunakan untuk mengurangi maladaptasi kecemasan
yang dipelajari melalui conditioning (seperti: phobia ) tetapi juga dapat diterapkan pada masalah lain, misalnya
kecemasan dalam menghadapi tes.
b.
Teknik desensitisasi sistematik dapat
membantu konseli melemahkan atau mengurangi
perilaku negatifnya tanpa menghilangkannya.
c.
Konseli juga dapat mengaplikasikan
teknik ini dalam kehidupan sehari-hari tanpa
harus ada konselor yang memandu
4. Prosedur Pelaksanaan
Teknik Desensitisasi Sistematik
Prosedur pelaksanaan
teknik desensitisasi sistematik (Willis, 2004: 72) adalah sebagai berikut:
a.
Analisis perilaku yang menimbulkan
kecemasan.
b.
Menyusun hierarki atau jenjang-jenjang
situasi yang menimbulkan kecemasan dari
yang kurang hingga yang paling mencemaskan konseli.
c.
Memberi latihan rileksasi otot-otot yang
dimulai dari lengan hingga otot kaki.
d.
Konseli diminta membayangkan situasi
yang menyenangkannya seperti di pantai,
di tengah taman yang hijau dan lain-lain.
e.
Konseli disuruh memejamkan mata,
kemudian disuruh membayangkan situasi yang
kurang mencemaskan. Bila konseli sanggup tanpa cemas atau gelisah, berarti
situasi tersebut dapat diatasi konseli. Demikian seterusnya hingga ke situasi
yang paling mencemaskan.
f.
Bila pada suatu situasi konseli merasa
cemas dan gelisah, maka konselor memerintahkan konseli agar membayangkan
situasi yang menyenangkan tadi untuk menghilangkan kecemasan yang baru terjadi.
g.
Menyusun hierarki atau jenjang kecemasan
harus bersama konseli, dan konselor menuliskannya dikertas.
Menurut Mubarok (2009:
30), terdapat empat tahap utama dalam teknik desensitisasi yaitu: pertama ,
konselor dan konseli mendaftar situasi apa saja yang menyebabkan konseli
diserang perasaan cemas dan kemudian menyusunnya secara hirarkis mulai dari
yang paling ringan (di atas) sampai yang paling berat (di bawah). Kedua ,
konselor melatih konseli untuk mencapai keadaan rileks/santai, hal ini dilakukan
melalui prosedur khusus yang disebut rileksasi. Ketiga , konselor melatih
konseli untuk membentuk respon-respon antagonistik yang dapat menghambat
perasaan cemas. Ini dapat dilakukan melalui prosedur imageri yaitu melatih
konseli untuk membayangkan situasi lain yang menyenangkan, pada saat konselor
menyajikan situasi yang menimbulkan kecemasan. Keempat , pelaksanaan intervensi
pada tahap ini konselor mula-mula mengarahkan konseli agar dapat mencapai
keadaan rileks.
Setelah konseli
mencapai keadaan rileks, konselor memverbalisasikan (menyajikan) secara
berurutan dari atas ke bawah situasi yang menimbulkan perasaan cemas
sebagaimana tersusun dalam hirarki dan meminta konseli membayangkannya. Jika
konseli dapat membayangkan situasi tersebut tanpa mengalami kecemasan, konselor
menyajikan situasi berikutnya dan ini terus dilakukan dengan cara yang sama
sehingga seluruh situasi dalam hirarki yang telah disajikan dan kecemasan bisa
dihilangkan.
Ada tiga langkah utama dalam penggunaan
desensitisasi sistematik yaitu:
a. Latihan
rileksasi, konselor memulai dengan melatih konseli untuk santai. Latihan ini
harus berlangsung dalam ruangan yang tenang, cukup pencahayaan, tidak ada
kebisingan di luar ruangan.
b. Pengembangan
hirarki kecemasan, konselor merencanakan hirarki kecemasan dengan konseli untuk setiap ketakutan yang
diketahui. Hirarki ini didasarkan pada ketakutan yang telah disepakati konselor
dan konseli sebagai perubahan yang diinginkan.
c. Penggunaan
desensitisasi sistematik yang tepat, dimulai dengan membiarkan konseling
menenangkan diri, kemudian konselor meminta konseli untuk membayangkan
tiap-tiap suasana yang jelas dan senyata mungkin sesuai dengan urutan hirarki
situasi yang telah disepakati sebelumnya.
Jika konseli merasakan
sedikit lebih cemas ketika membayangkan suasana tertentu, maka konseli akan
memberitahu signal dengan jari tangan dan konselor langsung meminta konseli
untuk rileks dan membayangkan suasana yang menyenangkan. Jika konseli dapat melewati
situasi kecemasan tanpa merasa cemas maka konselor meminta konseli membayangkan
situasi kecemasan yang berikutnya sampai situasi yang paling mencemaskan.
B. Konsep Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Setiap orang tentu
pernah mengalami perasaan cemas. Perasaan cemas yang dialami oleh masing-masing
orang berbeda-beda, ada yang tinggi, sedang, atau rendah, dan bagaimana orang
menyikapi hadirnya perasaan cemas. Di
dalam kamus psikologi, Sitanggang (1994: 23) menyebutkan bahwa anxiety
(kecemasan) merupakan ketakutan yang samar-samar dan yang tidak jelas terarah
pada suatu realisasi obyektif yang didapat karena pengalaman atau melalui
generalisasi rangsangan; seringkali terjadi sebagai akibat frustrasi/kekecewaan.
Hal ini merupakan ciri dari berbagai gangguan syaraf dan mental.
Menurut Hawari , “kecemasan
adalah gangguan alam perasaan (affective ) yang ditandai dengan perasaan
ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan”. Secara klinis gejala
kecemasan dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: gangguan cemas ( anxiety
disorder ), gangguan cemas menyeluruh ( generalized anxiety disorder/ GAD ),
gangguan panik ( panic disorder ), gangguan phobik ( phobic disorder ) dan
gangguan obsesif-kompulsif (obsessive compulsive disorder ). Tidak setiap orang
mengalami stressor psikososial akan menderita gangguan cemas, hal ini
tergantung pada struktur kepribadiannya. Individu dengan kepribadian pencemas
lebih rentan ( vulnerable ) untuk menderita gangguan cemas daripada individu
yang tidak berkepribadian pencemas.
Arkoff, menjelaskan
kecemasan adalah anxiety as a state of arousal caused by threat to well-being .
Jadi, kecemasan adalah suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman
terhadap kesehatan. Sudrajat (2009) menjelaskan bahwa kecemasan atau anxiety
merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa
terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu
jelas.
Daswia (2006: 23)
menjelaskan bahwa kecemasan merupakan suatu keadaan pada diri individu dalam
menghadapi situasi yang dirasakan mengancam
tanpa adanya objek yang jelas dan
keadaan ini mengarahkan individu untuk mencoba
mengatasi keadaan yang tidak menyenangkan tersebut.
Berdasarkan beberapa
pengertian kecemasan menurut pendapat para ahli
maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan
merupakan salah satu bentuk emosi
yang ditandai dengan perasaan ketakutan
atau kekhawatiran dalam menghadapi
situasi yang dirasakan mengancam tanpa
adanya objek yang jelas.
2.
Teori Kecemasan
Ada beberapa teori yang
memberikan kontribusi terhadap kemungkinan faktor etiologi dalam pengembangan kecemasan.
Teori-teori tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Teori Psikodinamik
Freud (1993)
mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan
menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil
aksi penurunan cemas. Ketika mekanisme pertahanan diri berhasil, kecemasan
menurun dan rasa aman datang kembali. Namun, apabila konflik terus
berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan
diri dialami sebagai simptom, seperti phobia , regresi dan tingkah laku
ritualistik.
Konsep psikodinamik
menurut Freud juga menerangkan bahwa kecemasan pertama kali timbul dalam hidup
manusia adalah pada saat lahir dan merasakan lapar yang pertama kali. Saat itu
dalam kondisi masih lemah dan belum mampu memberikan respon terhadap kedinginan
dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan pertama. Kecemasan berikutnya muncul
apabila ada suatu keinginan dari Id untuk menuntut pelepasan dari ego, tetapi
tidak mendapat restu dari super ego, maka terjadilah konflik dalam ego, antara
keinginan Id yang ingin pelepasan dan sangsi dari super ego lahirlah kecemasan
yang kedua. Konflik-konflik tersebut ditekan dalam alam bawah sadar dengan
potensi yang tetap tak terpengaruh oleh waktu, sering tidak realistik dan
dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke permukaan melalui tiga peristiwa,
yaitu: sensor super ego menurun, desakan Id meningkat dan adanya stress
psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan berikutnya.
b. Teori Perilaku
Menurut teori perilaku,
Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap stimulus khusus (fakta), waktu
yang cukup lama, seseorang mengembangkan respon kondisi untuk stimulus yang
penting. Kecemasan tersebut merupakan hasilfrustasi, sehingga akan mengganggu
kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang di inginkan.
c. Teori Interpersonal
Menjelaskan bahwa
kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar individu, sehingga
menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak berharga.
d. Teori Keluarga
Menjelaskan bahwa
kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata akibat adanya konflik dalam keluarga.
e. Teori Biologik
Beberapa kasus
kecemasan (5-42%) merupakan suatu perhatian terhadap proses fisiologis (Hall,
1980). Kecemasan ini dapat disebabkan oleh penyakit fisik atau keabnormalan,
tidak oleh konflik emosional. Kecemasan ini termasuk kecemasan sekunder.
3.
Macam-macam Kecemasan
Freud, mengklasifikasikan kecemasan ke
dalam tiga hal yaitu:
a. Kecemasan
realistik, merupakan respon terhadap ancaman dari dunia luar atau perasaan takut terhadap bahaya-bahaya yang
nyata (real ) yang berada di lingkungan.
Contoh: seorang siswa menjadi cemas ketika menghadapi ujian.
b. Kecemasan
neurotis, merupakan respon terhadap letusan yang mengancam dari dorongan Id ke dalam kesadaran. Kecemasan
ini berkembang berdasarkan pengalaman
masa anak-anak yang terkait dengan hukuman atau ancaman dari orang tua. Ketika
seseorang mengalami kecemasan neurotik, orang tersebut merasa takut akan
hukuman yang maya (hayalan) dari orang tua atau orang lain yang mempunyai
otoritas secara maya pula untuk memuaskan dorongan instinknya.
c. Kecemasan
moral, merupakan respon super ego terhadap dorongan Id yang mengancam untuk memperoleh kepuasan secara
“immoral”. Kecemasan ini diwujudkan
dalam bentuk perasaan bersalah (guitly feeling ) atau rasa malu (shame ). Seseorang yang mengalami kecemasan
ini, merasa takut akan dihukum oleh
super egonya atau kata hatinya.
Sundari, membagi macam-macam kecemasan
menjadi tiga, yaitu:
a. Kecemasan
karena merasa berdosa atau bersalah. Misalnya seseorang melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan hati nuraninya atau keyakinannya, seperti seorang pelajar
menyontek pada waktu pengawas ujian lewat didepannya berkeringat dingin, takut
diketahui.
b. Kecemasan
akibat melihat dan mengetahui bahaya yang mengancam dirinya. Misalnya kendaraan
yang dinaiki remnya macet, sehingga menjadi cemas kalau terjadi tabrakan
beruntun dan ia sebagai penyebabnya.
c. Kecemasan
dalam bentuk yang kurang jelas, apa yang ditakuti tidak seimbang, bahkan yang
ditakuti itu hal atau benda yang tidak berbahaya. Rasa takut sebenarnya sesuatu
yang biasa atau wajar kalau ada sesuatu yang ditakuti dan seimbang. Bila takut
yang sangat luar biasa dan tidak sesuai terhadap objek yang ditakuti sebenarnya
patologis yang disebut phobia . Phobia adalah rasa takut yang sangat atau
berlebihan terhadap sesuatu yang tidak diketahui penyababnya.
Sedangkan, Spielberger
membedakan kecemasan atas dua bagian yaitu: kecemasan sebagai suatu sifat
(trait anxiety ), yaitu kecenderungan pada diri seseorang untuk merasa terancam
oleh sejumlah kondisiyang sebenarnya tidak berbahaya, dan kecemasan sebagai
suatu keadaan (state anxiety ), yaitu suatu keadaan atau kondisi emosional
sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan
kekhawatiran yang dihayati secara sadar serta bersifat subyektif dan
meningginya sistem syaraf otonom. Sebagai suatu keadaan, kecemasan biasanya
berhubungan dengan situasi-situasi lingkungan yang khusus, misalnya situasi
tes.
4. Gejala-gejala
Kecemasan
Menurut Sundari, ada
beberapa gejala kecemasan yang bersifat fisik, yaitu jari-jari tangan dingin,
detak jantung makin cepat, berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan
berkurang, tidur tidak nyenyak, dan dada sesak nafas.
Sedangkan gejala yang
bersifat psikis, yaitu ketakutan, merasa akan ditimpa bahaya, tidak dapat
memusatkan perhatian, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan.
Yusuf menjelaskan bahwa
gejala kecemasan ini nampak pada perubahan fisik, seperti gangguan pernafasan,
detak jantung yang meningkat, berkeringat, dan lain-lain.
Menurut Hawari (2006:
68-70) kecemasan yang menyeluruh dan menetap paling sedikit berlangsung selama
1 bulan dengan kategori gejala sebagai berikut:
a. Ketegangan motorik/alat gerak:
a)
gemetar,
b)
tegang,
c)
nyeri otot,
d)
letih,
e)
tidak dapat santai,
f)
kening berkerut,
g)
muka tegang,
h)
gelisah,
i)
tidak dapat diam, dan
j)
mudah kaget.
b. Hiperaktivitas syaraf autonom
(simpatis/parasimpatis):
a)
berkeringat berlebihan,
b)
jantung berdebar-debar,
c)
rasa dingin,
d)
telapak tangan/kaki basah,
e)
mulut kering,
f)
pusing,
g)
kepala terasa ringan,
h)
kesemutan,
i)
rasa mual,
j)
rasa aliran panas atau dingin,
k)
sering buang air seni,
l)
diare,
m)
rasa tidak enak diulu hati,
n)
kerongkongan tersumbat,
o)
muka merah atau pucat, dan
p)
denyut nadi dan nafas yang cepat waktu istirahat.
c. Rasa khawatir berlebihan tentang hal-hal yang
akan datang ( apprehensive expectation
):
a)
cemas, khawatir, takut,
b)
berpikir berulang ( rumination ), dan
c)
membayangkan akan datangnya kemalangan terhadap dirinya atau orang lain.
d. Kewaspadaan berlebihan:
a) mengamati lingkungan secara berlebihan sehingga
mengakibatkan perhatian mudah teralih,
b)
sukar berkonsentrasi,
c)
sukar tidur,
d)
merasa ngeri,
e)
mudah tersinggung, dan
f)
tidak sabar.
Gejala-gejala tersebut
di atas baik yang bersifat psikis maupun fisik (somatik) pada setiap orang
tidak sama, dalam arti tidak seluruhnya gejala itu harus ada.
Sedangkan Nuly, menjelaskan bahwa ada empat tanda-tanda atau gejala umum dari kecemasan
yaitu:
a. Terhadap
emosi: pelupa, gugup, khawatir, susah tidur.
b. Terhadap
jantung dan pernafasan: jantung berdebar-debar, tangan dingin,
c. berkeringat,
sakit kepala, sesak nafas, dan sebagainya.
d. Terhadap
otot-otot: tangan bergetar, punggung terasa pegal, tegang, kaku, dan
e. sebagainya.
f. Terhadap
lambung dan usus: perut terasa tidak enak, susah buang air besar dan diare.
5.
Faktor-faktor Penyebab Kecemasan
Grainger menjelaskan
bahwa individu membuat keputusan terhadap kecemasan yang dirasakannya
berdasarkan dua kelompok faktor, yaitu:
a. Faktor
lingkungan, antara lain: tuntutan terhadap diri kita di rumah, di tempat
b. kerja/
di sekolah, dan dari kehidupan pribadi.
c. Faktor
individu, antara lain: ciri kepribadian, sikap, usia, tingkatan sosial.
Faktor penyebab kecemasan menurut
Sigmund Freud,yaitu:
a. Id
(rangsangan naluri yang menuntut pemuasan segera) muncul sebagai suatu
rangsangan yang mendorong ego untuk melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima
lingkungan. Freud menyebutnya sebagai neurotic anxiety .
b. Ego
(bagian dari kepribadian manusia yang memberi kesadaran akan adanya dunia di
luar dirinya, dan kemungkinan untuk berorientasi pada realita)menyadari akan
adanya hal yang mengkhawatirkan. Inilah yang menyebabkan realistic anxiety
menurut Freud.
c. Super
Ego (kesadaran moral akan apa yang baik dan jahat) menjadi begitu kuat sehingga
menimbulkan perasaan bersalah dan rasa malu, yang disebut moral anxiety oleh
Freud.
6.
Tingkatan Kecemasan
Ada empat tingkat kecemasan menurut
Townsend, yaitu:
a. Kecemasan
ringan. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan
seseorang menjadi waspada dan meningkatkan
lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah
kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk
belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.
b. Kecemasan
sedang. Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan
mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif,
namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada
tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan
meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan
persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan
konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak
menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan
menangis.
c. Kecemasan
berat. Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan
berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta
tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak
pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang
muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, tidak dapat tidur
(insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak
mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk
menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
d. Panik.
Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami
kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini
adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis,
pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana,
berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi.
Fobia adalah sebuah rasa ketakutan
yang berlebihan pada sesuatu hal ataupun fenomena yang ada dalam kehidupan kita
sehari-hari. Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang
mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap fobia sulit
dimengerti. Itu sebabnya, yang mengalami hal tersebut sering dijadikan bahan
ledekan oleh teman-teman sekitarnya. Demikian kurang lebih dari pengertian
fobia itu sendiri.Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat
fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat phobia menggunakan bahasa logika
sementara seorang pengidap / penderita fobia biasanya menggunakan bahasa
rasa. Bagi pengamat dirasa lucu jika seseorang berbadan besar, takut dengan
hewan kecil seperti kecoak atau tikus. Sementara di bayangan mental seorang
pengidap fobia subjek tersebut menjadi benda yang sangat besar, berwarna, sangat
menjijikkan ataupun menakutkan. Itulah fenomena dari phobia ini.
Dalam keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan
mengendalikan rasa takut. Akan tetapi bila seseorang terpapar terus menerus
dengan subjek phobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya fiksasi.
Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi terkunci, yang
disebabkan oleh ketidak-mampuan orang yang bersangkutan dalam mengendalikan
perasaan takutnya. Penyebab lain terjadinya fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu
keadaan yang sangat ekstrem seperti trauma bom, terjebak lift dan sebagainya.
Dan fobia ini juga mempunyai jenisnya sendiri-sendiri. Untuk jenis fobia
akan diterangkan di bagian selanjutnya.
Seseorang yang pertumbuhan mentalnya
mengalami fiksasi akan memiliki kesulitan emosi (mental blocks) dikemudian
harinya. Hal tersebut dikarenakan orang tersebut tidak memiliki saluran
pelepasan emosi (katarsis) yang tepat. Setiap kali orang tersebut berinteraksi
dengan sumber Fobia secara otomatis akan merasa cemas dan agar
"nyaman" maka cara yang paling mudah dan cepat adalah dengan cara
"mundur kembali"/regresi kepada keadaan fiksasi.
Kecemasan yang tidak diatasi seawal mungkin berpotensi
menimbulkan akumulasi emosi negatif yang secara terus menerus ditekan kembali
ke bawah sadar (represi). Pola respon negatif tersebut dapat berkembang
terhadap subjek subjek phobia lainnya dan intensitasnya semakin meningkat.
Walaupun terlihat sepele, “pola” respon tersebut akan dipakai terus menerus
untuk merespon masalah lainnya. Itu sebabnya seseorang penderita fobia menjadi
semakin rentan dan semakin tidak produktif. Phobia merupakan salah satu dari
jenis jenis hambatan sukses lainnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Teknik
desensitisasi sistematik merupakan salah satu teknik perubahan prilaku yang
didasari oleh pendekatan konseling behavioral
2. Kecemasan
merupakan hasil konflik psikis yang tidak disadari
3. Fobia adalah
sebuah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal ataupun fenomena yang
ada dalam kehidupan kita sehari-hari