Pages

Selasa, 09 April 2013

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBAHAGIAAN






1.      KESEHATAN

Kesehatan yang baik memungkinkan pada usia berapa pun melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk atau ketidak mampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bag keinginan dan kebutuhan mereka sedemikian rupa, sehingga menimbulkan rasa tidak bahagia.


2.      DAYA TARIK FISIK

Daya tarik fisik menyebabkan individu dapat diterima dan disukai oleh masyarakat dan sering merupakan penyebab dari prestasi yang lebih besar daripada apa yang mungkin dicapai individu kalau kurang mempunyai daya tarik.


3.      TINGKAT OTONOMI

Semakin besar otonomi yang  dapat dicapai, semakin besar kesempatan untuk merasa bahagia. Hal ini ditemukan baik pada masa kanak-kanak maupun masa dewasa.


4.      KESEMPATAN-KESEMPATAN INTERAKSI DI LUAR KELUARGA

Karena nilai sosial yang tinggi ditekankan pada popularitas, maka di tingkat usia apapun orang akan merasa bahagia apabila mereka mempunyai kesempatan untuk mengadakan hubungan sosial  dengan orang-orang di luar lingkungannya, ketimbang apabila hubungan sosial mereka terbatas pada anggota keluarga.


5.      JENIS PEKERJAAN

Semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin  sedikit kesempatan untuk otonomi pekerjaan, semakin kurang memuaskan. Hal ini dilihat pada tugas sehari-hari yang diberikan kepada anak-anak dan juga pekerjaan orang-orang dewasa.


6.      STATUS KERJA

Baik dibidang persekolhan maupun pekerjaan semakin berhasil seseorang melaksanakan tugas, semakin hali itu dihubungkan dengan prestise maka, semakin besar kepuasan yang ditimbulkan.


7.      KONDISI KEHIDUPAN

Kalau pola kehidupan memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang-orang lain baik di dalam keluarga maupun dengan teman-teman dan tetangga di dalam masyarakat, maka kondisi demikian memperbesar kepuasan hidup.


8.      PEMILIKAN HARTA BENDA

Pemilikan harta benda bukan dalam arti memiliki benda itu yang mempengaruhi kebahiagiaan, melainkan cara orang merasakan pemilikan itu.


9.      KESEIMBANGAN ANTARA HARAPAN DAN PENCAPAIAN

Kalau harapan-harapan itu realistis, orang akan puas dan bahagia apabila tujuannya tercapai.


10.  PENYESUAIAN EMOSIONAL

Orang-orang yang dapat menyusaikan diri dengan baik dan yang bahagia, jarang dan tidak terlampau intensif mengungkapkan perasaan-perasaan negatif seperti takut, marah, dan iri hati daripada mereka yang tidak dapat menyusaikan diri dengan baik dan tidak bahagia.


11.  SIKAP TERHADAP PERIODE USIA TERTENTU

Perasaan bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian ditentukan oleh pengalaman sendiri bersama orang lain semasa kanak-kanak pda usia itu dan sebagian oleh stereotip budaya.


12.  REALISME DARI KONSEP DIRI

Orang-orang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari yang sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak tercapai. Ketidak bahagiaan mereka dipertajam oleh perasaan tidak mampu dan oleh keyakinan bahwa mereka tidak dimengerti diperlukan kurang adil.


13.  REALISME DARI KONSEP-KONSEP PERAN

Orang-orang cenderung mengangankan peran yang akan dimainkan pada usia mendatang. Apabila peran yang baru itu tidak sesuai dengan harapan mereka, mereka akan merasa tidak bahagia kecuali kalu mereka mau menerima kenyataan peran yang baru itu. Sebagai suatu kelompok, anak-anak dan para remaja cenderung mempunyai konsep peran yang lebih tidak realistik daripada orang-orang dewasa. Hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak bahagia pada tingkat-tingkat usia tersebut.


Psikologi Perkembangan Edisi Kelima "Elizabeth B Hurlock"

Minggu, 07 April 2013

Contoh Proposal Penelitian Kuantitatif Peranan Keluarga Pada Pendidikan Karakter Anak

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Anak merupakan aset yang menentukan kelangsungan hidup, kualitas dan kejayaan suatu bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu anak perlu dikondisikan agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan dididik sebaik mungkin agar di masa depan dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter serta berkepribadian baik. Keluarga  adalah lingkungan yang pertama dan utama dikenal oleh anak. Karenanya keluarga sering dikatakan sebagai primary group. Alasannya, institusi terkecil dalam masyarakat ini telah mempengaruhi perkembangan individu anggota-anggotanya, termasuk sang anak. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai bentuk kepribadiannya di masyarakat. Oleh karena itu tidaklah dapat dipungkiri bahwa sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan saja. Mengingat banyak hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat dirunut dari keluarga (Mardiya, 2000 : 10).
Para sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga - keluarga yang merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat seperti kejahatan seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”.
Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi - institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
Hasil penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya. Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain. Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.
Banyaknya anak yang terlibat dalam tindak kenakalan anak baik berupa tindak kekerasan, penipuan, pemerkosaan/pelecehan seksual, pencurian, perampokan hingga pembunuhan serta tindakan/ perilaku yang negatif lainnya seperti mabuk-mabukan, merokok atau menyalahgunakan narkoba, merupakan salah satu bentuk gagalnya pendidikan terhadap anak.Era globalisasi memang telah mengubah segalanya. Beratnya persaingan hidup telah menyebabkan orang lupa memperhatikan kebutuhan anak karena sibuk mencari nafkah. Sementara perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan budaya luar baik atau buruk mengalir bagitu derasnya. Dampaknya bila tidak ada pengawasan dan bimbingan yang cukup buruk dari luar. Oleh karenanya, sejak dini pada anak perlu ditanamkan nailai-nilai moral sebagai pengatur sikap dan perilaku individu dalam melakukan interaksi sosial di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa (Gunarwan, 2005 : 10).

B.     Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah “ sejauh mana pengaruh peran keluarga terhadap pendidikan karakter anak”
C.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan pada penelitian ini adalah “ memperoleh informasi tentang sejauh mana pengaruh keluarga terhadap pendidikan karakter anak”
D.    Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua kalangan terutama bagi orang tua (keluarga) tentang  pentingnya pendidikan karakter terhadap anak.














BAB II
TINJAUAN  PUSTAKA
[
A.    PENGERTIAN KELUARGA
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Menurut Salvicion dan Celis (1998) bahwa:
“di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.

Ada beberapa jenis keluarga, yakni: keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau anak-anak, keluarga konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak-anak mereka, di mana terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek.


Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat dalam keluarga adalah sebagai berikut, Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut:
1.      Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2.      Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
3.      Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
4.      Sosialisasi antar anggota keluarga.
5.      Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6.      Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.

7.      Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
8.      Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.
Fungsi yang dijalankan keluarga adalah:
1.      Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak.
2.      Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3.      Fungsi Perlindungan dilihat dari bagaimana keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4.      Fungsi Perasaan dilihat dari bagaimana keluarga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5.      Fungsi Agama dilihat dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain setelah dunia.
6.      Fungsi Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga.
7.      Fungsi Rekreatif dilihat dari bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.
8.      Fungsi Biologis dilihat dari bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya.
9.      Memberikan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman di antara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
B.     PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa
ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi”

Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggung jawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
C. HUBUNGAN ANTARA KELUARGA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER ANAK
Lingkungan keluarga menjadi faktor penting dalam menanamkan pendidikan karakter anak, di luar faktor pendidikan di sekolah serta lingkungan sosial. Lingkungan keluarga ini, bisa dimulai dari situasi dalam keluarga dan pola pendidikan yang dilakukan.
Jika pola pendidikan karakter di tengah keluarga sudah terbangun dengan baik, dengan sendirinya anak akan lebih mudah untuk menerima pendidikan karakter di sekolah. Demikian pula saat anak harus bersinggungan dengan lingkungan sosial, sebab persoalan yang sekarang jamak terjadi saat ini banyak orang tua yang stres dan depresi akibat persoalan hidup yang kompleks. Pada situasi ini bagaimana mungkin orang tua mampu memberikan pendidikan karakter yang dibutuhkan. Untuk menanamkan pendidikan karakter yang baik dari keluarga perlu dilihat dulu kondisi orang tua. Yang paling penting, membuang depresi kedua orang tua di tengah persoalan hidup yang kian kompleks.
Sekarang ini orang tua sering mengabaikan dan menyerahkan pendidikan karakter anak kepada sekolah. Persoalan baru pun muncul saat para pengajar (guru) yang harusnya bisa memberikan pendidikan karakter ini juga sudah membawa stres dari rumahnya. Ditambah dengan lingkungan sosial si anak yang kurang mendukung, jadilah masalah pendidikan karakter ini mandeg. Kalau sudah kompleks tidak ada yang mau disalahkan dalam kegagalan menanamkan pendidikan karakter ini,
Dalam masyarakat kita, sering ada anggapan bahwa tugas seorang ayah bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dan tugas seorang ibu membimbing dan mendidik anak serta mengurusi pekerjaan rumah tangga. Anggapan seperti itu pun mengalami perkembangan dua arah. Arah yang pertama, ada seorang ayah yang mempertahankan anggapan itu sehingga tidak mau tahu urusan perawatan anak. Dalam pandangan ini ayah tidak mau menggendong, memandikan, mengganti pakaian, menghibur anak dan tidak menyediakan waktu untuk membantu pekerjaan urusan dapur dalam suasana keluarga repot sekali pun. Arah yang kedua, seorang ayah yang toleransi terhadap tugas ibu rumah tangga dengan rasa senang bersedia merawat, berkomunikasi dengan anak dan mau membantu mencuci pakaian keluarga.
Untuk menjaga keutuhan keluarga, arah yang ke dua di atas cenderung untuk berkembang. Tentu hal ini sangat berhubungan dengan pendidikan, wawasan dan sikap seorang laki-laki / ayah. Pendidikan yang dimiliki seharusnya dapat mengantarkan wawasan bahwa ayah merupakan pemandu, pendidik, pemimpin dan pelindung keluarga.

Anak merupakan bagian dari keluarga. Oleh karenanya secara alami peran ayah terhadap anak tak bisa  dilimpahkan begitu saja kepada ibu. Sikap ayah akan berpengaruh terhadap pribadi anak. Kehadiran ayah di depan anak mempunyai kontribusi  yang signifikan terhadap sikap dan watak seorang anak.
Anak merupakan karunia Allah SWT yang diberikan kepada pasangan suami isteri. Anak pulalah sebagai buah hati suami isteri yang mendambakannya. Di tangan anak, masa depan bergantung. Maka tidak keliru apabila anak diposisikan sebagai  aset masa depan.  Dengan demikian anak mempunyai hak hidup yang layak untuk masa depan sebagaimana seorang ibu dan ayahnya. Dari sinilah timbul suatu tanggung jawab orang tua terhadap anaknya  untuk mempersiapkan masa depan anak. Termasuk di dalamnya yang terpenting adalah pembentukan pribadi anak melalui pendidikan berkarakter.
Menyadari hal inilah mengingatkan ayah untuk tidak sekedar menanamkan benih kepada isteri melainkan tugas mendidik dan membesarkan anak merupakan tanggung jawab ayah yang tak terhindarkan. Membentuk anak agar mempunyai kepribadian yang baik sesuai dengan norma – norma yang berlaku tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Prosesnya cukup panjang dan membutuhkan wawasan pendidikan serta strategi yang tidak asal jalan.  Tugas ini tidaklah enteng sehingga apabila semuanya dilimpahkan kepada seorang ibu akan merupakan beban berat  baginya. Tugas berat itulah yang disebut proses mendidik anak.


Pendidikan untuk anak harus kita lakukan. Proses ini bertujuan untuk membimbing anak ke arah kedewasaan supaya anak dapat memperoleh keseimbangan antara perasaan dan akal budaya serta dapat mewujudkan keseimbangan dalam perbuatannya kelak. Dalam teori tabularasanya John Lock, seorang bayi diibaratkan kertas putih bersih tak berwarna, apa yang kita goreskan maka itulah hasilnya. Hadits Nabi juga menyatakan bahwa,
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci bersih, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani dan Majusi” (HR. Muslim).
Walaupun tidak sepenuhnya pendapat John Lock di atas harus dianut, setidaknya memberi pemahaman kepada kita bahwa pendidikan ( terlebih pendidikan agama ) sangat penting kita berikan kepada anak. Dan orang tua  menurut hadits di atas adalah ibu dan ayah. Anak yang kita didik dengan rasa senang, ikhlas dan menurut rel Al-Qur’an, insya Allah anak kita menjadi anak saleh, anak yang dibanggakan setiap orang  muslim.
Dalam berperilaku, biasanya anak  mengambil contoh tauladan dari  perilaku orang yang dilihatnya. Tak mengherankan apabila orang yang terdekatlah sebagai sosok idola bagi perilaku anak. Dan orang terdekat itulah  ibu dan bapak. Anak-anak itu merupakan peniru terbesar di dunia ini. Mereka terus-menerus meniru apa yang dilihat dan menyimpan apa yang didengar. Sebutir contoh tauladan perilaku yang baik lebih efektif guna membelajarkan anak daripada seabrek kata-kata. Teladan itu menyediakan isyarat-isyarat non verbal yang berarti menyediakan contoh yang jelas untuk ditiru.

Mengapa anak perlu dibelajarkan pada sikap-sikap terpuji ? Jawabnya adalah sebagai pedoman dalam kehidupan di masa depan ? Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelegence (1996) mengatakan bahwa kesuksesan hidup tidak tergantung IQ ( Intelegence Quotient) melulu. Menurut hasil penelitiannya, kesuksesan hidup 80% ditentukan oleh EQ (Emotional Quotien ) dan SQ ( Spiritual Quotient) dan maksimum 20%  kontribusi  IQ mempengaruhinya.
Pandangan terbaru yang didasarkan atas penelitian yang jeli dan teliti ini menyadarkan kita untuk memberdayakan potensi EQ dan SQ anak generasi masa depan. IQ yang selama ini dipuja-puja sebagai penentu kesuksesan hidup ternyata tidak benar. Banyak contoh yang dapat kita kemukakan berkaitan dengan peran IQ dalam meraih kesuksesan hidup. Tidak sedikit pejabat  yang IQ- nya tinggi kejeblos dalam penjara gara-gara melakukan korupsi uang rakyat. Orang pintar memiliki IQ tinggi menjadi anak buah perusahaan. Padahal, pemilik perusahaan IQ- nya tidak setinggi dia.
Berkaitan dengan kesuksesan hidup yang kontribusinya lebih besar ditentukan oleh sikap seseorang maka perlu sekali adanya garis penuntun bagi generasi masa depan agar berjalan terarah menuju suatu titik kesuksesan hidup. Garis penuntun saja tidak cukup maka perlu adanya proses latihan melakukan sikap-sikap seperti dalam garis penuntun. Inilah yang dimaksud proses pembelajaran.


Proses ini akan sangat bermakna dan bersarang di dalam memori dengan kuat apabila pembelajaran melakukan sikap-sikap seperti dalam garis penuntun dimulai sejak anak belum dewasa. Kiranya sangat wajar apabila ada orang tua yang telah melakukan pembelajaran bagi anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan penanaman sikap-sikap positif yang berguna bagi kehidupan sekali pun kadang tampak memaksa.


C.    HIPOTESIS
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah; ada hubungan positif antara peran keluarga dengan pendidikan karakter anak. Hal ini berarti pembentukan karakter anak sangat ditentukan oleh peran keluarga.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
Variable – variable penelitian ini sebagai berikut:
Variabel terikat            :  Pendidikan karakter anak
Variable bebas             :  Peran keluarga
B. Defenisi Operasional
a.       Peran keluarga adalah seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu dalam hal ini peran orang tua terhadap anaknya.
b.      Pendidikan karakter anak adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action), yang harus ditanamkan kepada seseorang untuk bekal hidup yang lebih baik
C. Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 2012 Universitas Indonesia timur yang berjumlah 45 orang. Jumlah subjek dibawah 100 orang memungkinkan untuk diteliti seluruhnya, sehingga dilakukan penelitian populasi.


D. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan gabungan wawancara, angket, dan dokumentasi.
E. Validitas dan Realiabilitas
1.      Uji Validitas
Uji validitas dimasukkan untuk mengetahui tingkat validitas instrumen penelitian yang digunakan. Validitas berarti sejauh mana ketetapan dan kecermatan suatu alat dalam melakukan fungsi ukurnya. Sebuah instrumen harus mampu mengukur apa yang seharusnya diukur sehingga data yang diperoleh dapat menggambarkan keadaan yang sesungguhnya (Azwar,1999).
Validitas dinyatakan secara empiris oleh suatu koefisien validitas tertentu. Koefisien validitas memiliki makna jika bergerak dari 0.00 sampai 1.00 dan batas minimum koefisien korelasi sudah dianggap memuaskan jika nilai r = 0.30 (Azwar, 1999). Uji validitas butir skala dukungan sosial dan stress kerja menggunakan Pearson Product Moment dengan bantuan Statistical Package for Social Sciences) (SPSS) 12.0 for windows.
a.       Skala kepemimpinan partisipatif
Hasil uji validitas butir skala kepemimpinan partisipatif menunjukkan tidak ada butir yang gugur dari 25 butir yang diuji.
b.      Skala komitmen organisasi
Hasil uji validitas butir skala komitmen organisasi menunjukkan 5 butir yang gugur dari 25 butir yang diuji yakni butir 2,8,9,12,16.
2.      Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana alat ukur mempunyai konsistensi relatif tetap jika dilakukan pengukuran ulang terhadap subjek yang sama. Makin tinggi koefisien korelasi berarti menunjukkan tingkat reliabilitas makin tinggi.koefisien reliabilitas memiliki komponen angka yang seberapa besar tingkat korelasi dan bertanda positif atau negatif yang berarti arah hubungan antara 0.00 sampai 1.00 . besar koefisien relibialitas yang baik adalah sebesar mungkin. Bila koefisien relibialitas makin mendekati 1.00 berati terdapat konsistensi hasil pengukuran yang makin sempurna (Azwar,2003).
Uji relibialitas skala religiusitas dan skala kecenderungan agresivitas menggunakan teknik  Alpha Cronbach dengan bantuan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) 12.0 for windows
Hasil uji relibialitas masing-masing skala dalam penelitian ini adalah :
a.       Skala kepemimpinan partisipatif dengan jumlah butir yang valid adalah 25 dengan koefisien Alpha 0.915
b.      Skala komitmen organisasi dengan jumlah butir yang valid adalah 20 dengan koefisien Alpha 0.849
F. Tehnik Analisis Data
Tehnik analisis ini digunakan untuk menguji menggunakan korelasi product moment. Sebelum uji hipotesis dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji linieritas.