BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Anak
merupakan aset yang menentukan kelangsungan hidup, kualitas dan kejayaan suatu
bangsa di masa mendatang. Oleh karena itu anak perlu dikondisikan agar dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal dan dididik sebaik mungkin agar di masa
depan dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter serta berkepribadian
baik. Keluarga adalah lingkungan yang
pertama dan utama dikenal oleh anak. Karenanya keluarga sering dikatakan
sebagai primary group. Alasannya, institusi terkecil dalam masyarakat ini telah
mempengaruhi perkembangan individu anggota-anggotanya, termasuk sang anak.
Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai bentuk kepribadiannya
di masyarakat. Oleh karena itu tidaklah dapat dipungkiri bahwa sebenarnya
keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan
saja. Mengingat banyak hal-hal mengenai kepribadian seseorang yang dapat
dirunut dari keluarga (Mardiya, 2000 : 10).
Para
sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan
kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang
penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika keluarga - keluarga yang
merupakan fondasi masyarakat lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena
itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat seperti kejahatan
seksual dan kekerasan yang merajalela, serta segala macam kebobrokan di
masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.
Bagi
seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003),
fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, dan
mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan
lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”.
Menurut
pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), keluarga merupakan
tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen
Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk
mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan
kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain
untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari
paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama
bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan
karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi - institusi lain di
luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam
membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak
berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa
karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
Hasil
penelitian Rohner menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang menerima membuat
anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi dukungan oleh
orang tuanya. Pola asuh ini sangat kondusif mendukung pembentukan kepribadian
yang pro-sosial, percaya diri, dan mandiri namun sangat peduli dengan
lingkungannya. Sementara itu, pola asuh yang menolak dapat membuat anak merasa
tidak diterima, tidak disayang, dikecilkan, bahkan dibenci oleh orang tuanya.
Anak-anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menjadi pribadi yang
tidak mandiri, atau kelihatan mandiri tetapi tidak mempedulikan orang lain.
Selain itu anak ini akan cepat tersinggung, dan berpandangan negatif terhadap
orang lain dan terhadap kehidupannya, bersikap sangat agresif kepada orang
lain, atau merasa minder dan tidak merasa dirinya berharga.
Banyaknya
anak yang terlibat dalam tindak kenakalan anak baik berupa tindak kekerasan,
penipuan, pemerkosaan/pelecehan seksual, pencurian, perampokan hingga
pembunuhan serta tindakan/ perilaku yang negatif lainnya seperti mabuk-mabukan,
merokok atau menyalahgunakan narkoba, merupakan salah satu bentuk gagalnya
pendidikan terhadap anak.Era globalisasi memang telah mengubah segalanya.
Beratnya persaingan hidup telah menyebabkan orang lupa memperhatikan kebutuhan
anak karena sibuk mencari nafkah. Sementara perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi telah menyebabkan budaya luar baik atau buruk mengalir bagitu
derasnya. Dampaknya bila tidak ada pengawasan dan bimbingan yang cukup buruk
dari luar. Oleh karenanya, sejak dini pada anak perlu ditanamkan nailai-nilai
moral sebagai pengatur sikap dan perilaku individu dalam melakukan interaksi
sosial di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa (Gunarwan, 2005 : 10).
B.
Perumusan
Masalah
Adapun rumusan
masalah pada penelitian ini adalah “ sejauh mana pengaruh peran keluarga
terhadap pendidikan karakter anak”
C.
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan
pada penelitian ini adalah “ memperoleh informasi tentang sejauh mana pengaruh
keluarga terhadap pendidikan karakter anak”
D.
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua kalangan terutama bagi orang
tua (keluarga) tentang pentingnya
pendidikan karakter terhadap anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
[
A.
PENGERTIAN KELUARGA
Keluarga adalah
unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa
orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergantungan.
Menurut Salvicion dan Celis (1998) bahwa:
“di dalam keluarga terdapat dua atau
lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan
perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi
satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta
mempertahankan suatu kebudayaan”.
Ada beberapa
jenis keluarga, yakni: keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan
anak atau anak-anak, keluarga konjugal yang
terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak-anak mereka, di mana
terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua.
Selain itu terdapat juga keluarga luas yang ditarik atas dasar garis keturunan
di atas keluarga aslinya. Keluarga luas ini meliputi hubungan antara paman,
bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek.
Peranan
keluarga menggambarkan seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan pribadi
dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat
dalam keluarga adalah sebagai berikut, Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga,
sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok
sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Sebagai istri
dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga,
sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu
kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah
tambahan dalam keluarganya. Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai
dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Pada dasarnya tugas keluarga ada
delapan tugas pokok sebagai berikut:
1.
Pemeliharaan fisik keluarga dan para
anggotanya.
2.
Pemeliharaan sumber-sumber daya yang
ada dalam keluarga.
3.
Pembagian tugas masing-masing
anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
5.
Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6.
Pemeliharaan ketertiban anggota
keluarga.
7.
Penempatan anggota-anggota keluarga
dalam masyarakat yang lebih luas.
8.
Membangkitkan dorongan dan semangat
para anggotanya.
Fungsi yang
dijalankan keluarga adalah:
1.
Fungsi Pendidikan dilihat dari bagaimana keluarga
mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan
anak.
2.
Fungsi Sosialisasi anak dilihat dari
bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3.
Fungsi Perlindungan dilihat dari
bagaimana keluarga melindungi anak sehingga anggota keluarga merasa terlindung
dan merasa aman.
4.
Fungsi Perasaan dilihat dari
bagaimana keluarga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan
anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota
keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan
keharmonisan dalam keluarga.
5.
Fungsi Agama dilihat
dari bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga
lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini
dan kehidupan lain setelah dunia.
6.
Fungsi Ekonomi dilihat dari bagaimana kepala
keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga
dapat memenuhi rkebutuhan-kebutuhan keluarga.
7.
Fungsi Rekreatif dilihat dari
bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara
nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.
8.
Fungsi Biologis dilihat dari bagaimana keluarga
meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya.
9.
Memberikan kasih sayang, perhatian,
dan rasa aman di antara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota
keluarga.
B.
PENDIDIKAN
KARAKTER
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi
pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek
ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus
dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Dengan pendidikan
karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah
bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena
dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan,
termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang baru
terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al,
2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif
kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa
“ada
sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor
resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi
pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan
bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi”
Hal ini sesuai dengan
pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata
80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan
oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan
emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol
emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia
pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.
Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi
akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Terdapat
sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan
tanggung jawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan
santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;
keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan;
kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi,
kedamaian, dan kesatuan.
C. HUBUNGAN
ANTARA KELUARGA DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER ANAK
Lingkungan keluarga menjadi faktor penting
dalam menanamkan pendidikan karakter anak, di luar faktor pendidikan di sekolah
serta lingkungan sosial. Lingkungan keluarga ini, bisa dimulai dari situasi
dalam keluarga dan pola pendidikan yang dilakukan.
Jika pola pendidikan
karakter di tengah keluarga sudah terbangun dengan baik, dengan sendirinya anak
akan lebih mudah untuk menerima pendidikan karakter di sekolah. Demikian pula
saat anak harus bersinggungan dengan lingkungan sosial, sebab persoalan yang
sekarang jamak terjadi saat ini banyak orang tua yang stres dan depresi akibat
persoalan hidup yang kompleks. Pada situasi ini bagaimana mungkin orang tua
mampu memberikan pendidikan karakter yang dibutuhkan. Untuk menanamkan
pendidikan karakter yang baik dari keluarga perlu dilihat dulu kondisi orang
tua. Yang paling penting, membuang depresi kedua orang tua di tengah persoalan
hidup yang kian kompleks.
Sekarang ini orang tua
sering mengabaikan dan menyerahkan pendidikan karakter anak kepada sekolah.
Persoalan baru pun muncul saat para pengajar (guru) yang harusnya bisa
memberikan pendidikan karakter ini juga sudah membawa stres dari rumahnya. Ditambah
dengan lingkungan sosial si anak yang kurang mendukung, jadilah masalah pendidikan
karakter ini mandeg. Kalau sudah kompleks tidak ada yang mau disalahkan dalam
kegagalan menanamkan pendidikan karakter ini,
Dalam
masyarakat kita, sering ada anggapan bahwa tugas seorang ayah bekerja mencari
nafkah untuk menghidupi keluarga dan tugas seorang ibu membimbing dan mendidik
anak serta mengurusi pekerjaan rumah tangga. Anggapan seperti itu pun mengalami
perkembangan dua arah. Arah yang pertama, ada seorang ayah yang mempertahankan
anggapan itu sehingga tidak mau tahu urusan perawatan anak. Dalam pandangan ini
ayah tidak mau menggendong, memandikan, mengganti pakaian, menghibur anak dan
tidak menyediakan waktu untuk membantu pekerjaan urusan dapur dalam suasana
keluarga repot sekali pun. Arah yang kedua, seorang ayah yang toleransi
terhadap tugas ibu rumah tangga dengan rasa senang bersedia merawat,
berkomunikasi dengan anak dan mau membantu mencuci pakaian keluarga.
Untuk menjaga
keutuhan keluarga, arah yang ke dua di atas cenderung untuk berkembang. Tentu
hal ini sangat berhubungan dengan pendidikan, wawasan dan sikap seorang
laki-laki / ayah. Pendidikan yang dimiliki seharusnya dapat mengantarkan
wawasan bahwa ayah merupakan pemandu, pendidik, pemimpin dan pelindung
keluarga.
Anak
merupakan bagian dari keluarga. Oleh karenanya secara alami peran ayah terhadap
anak tak bisa dilimpahkan begitu saja kepada ibu. Sikap ayah akan
berpengaruh terhadap pribadi anak. Kehadiran ayah di depan anak mempunyai
kontribusi yang signifikan terhadap sikap dan watak seorang anak.
Anak
merupakan karunia Allah SWT yang diberikan kepada pasangan suami isteri. Anak
pulalah sebagai buah hati suami isteri yang mendambakannya. Di tangan anak,
masa depan bergantung. Maka tidak keliru apabila anak diposisikan sebagai
aset masa depan. Dengan demikian anak mempunyai hak hidup yang
layak untuk masa depan sebagaimana seorang ibu dan ayahnya. Dari sinilah timbul
suatu tanggung jawab orang tua terhadap anaknya untuk mempersiapkan masa
depan anak. Termasuk di dalamnya yang terpenting adalah pembentukan pribadi
anak melalui pendidikan berkarakter.
Menyadari hal
inilah mengingatkan ayah untuk tidak sekedar menanamkan benih kepada isteri
melainkan tugas mendidik dan membesarkan anak merupakan tanggung jawab ayah
yang tak terhindarkan. Membentuk anak agar mempunyai kepribadian yang baik
sesuai dengan norma – norma yang berlaku tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Prosesnya cukup panjang dan membutuhkan wawasan pendidikan serta
strategi yang tidak asal jalan. Tugas ini tidaklah enteng sehingga
apabila semuanya dilimpahkan kepada seorang ibu akan merupakan beban berat
baginya. Tugas berat itulah yang disebut proses mendidik anak.
Pendidikan
untuk anak harus kita lakukan. Proses ini bertujuan untuk membimbing anak ke
arah kedewasaan supaya anak dapat memperoleh keseimbangan antara perasaan dan
akal budaya serta dapat mewujudkan keseimbangan dalam perbuatannya kelak. Dalam
teori tabularasanya John Lock, seorang bayi
diibaratkan kertas putih bersih tak berwarna, apa yang kita goreskan maka
itulah hasilnya. Hadits Nabi juga menyatakan bahwa,
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan
suci bersih, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi,
Nasrani dan Majusi” (HR. Muslim).
Walaupun
tidak sepenuhnya pendapat John Lock di atas harus dianut, setidaknya memberi
pemahaman kepada kita bahwa pendidikan ( terlebih pendidikan agama ) sangat
penting kita berikan kepada anak. Dan orang tua menurut hadits di atas
adalah ibu dan ayah. Anak yang kita didik dengan rasa senang, ikhlas dan
menurut rel Al-Qur’an, insya Allah anak kita menjadi anak saleh, anak yang
dibanggakan setiap orang muslim.
Dalam
berperilaku, biasanya anak mengambil contoh tauladan dari perilaku
orang yang dilihatnya. Tak mengherankan apabila orang yang terdekatlah sebagai
sosok idola bagi perilaku anak. Dan orang terdekat itulah ibu dan
bapak. Anak-anak itu merupakan peniru terbesar di dunia ini. Mereka
terus-menerus meniru apa yang dilihat dan menyimpan apa yang didengar. Sebutir
contoh tauladan perilaku yang baik lebih efektif guna membelajarkan anak
daripada seabrek kata-kata. Teladan itu menyediakan isyarat-isyarat non
verbal yang berarti menyediakan contoh yang jelas untuk ditiru.
Mengapa anak
perlu dibelajarkan pada sikap-sikap terpuji ? Jawabnya adalah sebagai pedoman
dalam kehidupan di masa depan ? Daniel Goleman dalam bukunya Emotional
Intelegence (1996) mengatakan bahwa kesuksesan hidup tidak tergantung IQ (
Intelegence Quotient) melulu. Menurut hasil penelitiannya, kesuksesan hidup 80%
ditentukan oleh EQ (Emotional Quotien ) dan SQ ( Spiritual Quotient) dan
maksimum 20% kontribusi IQ mempengaruhinya.
Pandangan
terbaru yang didasarkan atas penelitian yang jeli dan teliti ini menyadarkan
kita untuk memberdayakan potensi EQ dan SQ anak generasi masa depan. IQ yang
selama ini dipuja-puja sebagai penentu kesuksesan hidup ternyata tidak benar.
Banyak contoh yang dapat kita kemukakan berkaitan dengan peran IQ dalam meraih
kesuksesan hidup. Tidak sedikit pejabat yang IQ- nya tinggi kejeblos
dalam penjara gara-gara melakukan korupsi uang rakyat. Orang pintar memiliki IQ
tinggi menjadi anak buah perusahaan. Padahal, pemilik perusahaan IQ- nya tidak
setinggi dia.
Berkaitan
dengan kesuksesan hidup yang kontribusinya lebih besar ditentukan oleh sikap
seseorang maka perlu sekali adanya garis penuntun bagi generasi masa depan agar
berjalan terarah menuju suatu titik kesuksesan hidup. Garis penuntun saja tidak
cukup maka perlu adanya proses latihan melakukan sikap-sikap seperti dalam
garis penuntun. Inilah yang dimaksud proses pembelajaran.
Proses ini
akan sangat bermakna dan bersarang di dalam memori dengan kuat apabila
pembelajaran melakukan sikap-sikap seperti dalam garis penuntun dimulai sejak
anak belum dewasa. Kiranya sangat wajar apabila ada orang tua yang telah
melakukan pembelajaran bagi anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari berkaitan
dengan penanaman sikap-sikap positif yang berguna bagi kehidupan sekali pun
kadang tampak memaksa.
C.
HIPOTESIS
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang
diajukan adalah; ada hubungan positif antara peran keluarga dengan pendidikan
karakter anak. Hal ini berarti pembentukan karakter anak sangat ditentukan oleh
peran keluarga.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel Penelitian
Variable
– variable penelitian ini sebagai berikut:
Variabel terikat : Pendidikan karakter anak
Variable bebas : Peran keluarga
B. Defenisi Operasional
a. Peran
keluarga adalah seperangkat perilaku antar pribadi, sifat, kegiatan
yang berhubungan dengan pribadi dalam posisi dan situasi tertentu dalam hal ini
peran orang tua terhadap anaknya.
b. Pendidikan
karakter anak adalah pendidikan budi pekerti plus,
yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan
tindakan (action), yang harus ditanamkan kepada seseorang untuk bekal hidup
yang lebih baik
C. Subjek Penelitian
Penelitian
ini dilakukan pada mahasiswa Fakultas Psikologi angkatan 2012 Universitas
Indonesia timur yang berjumlah 45 orang. Jumlah subjek dibawah 100 orang
memungkinkan untuk diteliti seluruhnya, sehingga dilakukan penelitian populasi.
D. Metode Pengumpulan
Data
Teknik
pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan gabungan
wawancara, angket, dan dokumentasi.
E. Validitas dan
Realiabilitas
1.
Uji
Validitas
Uji validitas
dimasukkan untuk mengetahui tingkat validitas instrumen penelitian yang
digunakan. Validitas berarti sejauh mana ketetapan dan kecermatan suatu alat
dalam melakukan fungsi ukurnya. Sebuah instrumen harus mampu mengukur apa yang
seharusnya diukur sehingga data yang diperoleh dapat menggambarkan keadaan yang
sesungguhnya (Azwar,1999).
Validitas dinyatakan secara empiris oleh suatu
koefisien validitas tertentu. Koefisien validitas memiliki makna jika bergerak
dari 0.00 sampai 1.00 dan batas minimum koefisien korelasi sudah dianggap
memuaskan jika nilai r = 0.30 (Azwar, 1999). Uji validitas butir skala dukungan
sosial dan stress kerja menggunakan Pearson Product Moment dengan bantuan
Statistical Package for Social Sciences) (SPSS) 12.0 for windows.
a.
Skala
kepemimpinan partisipatif
Hasil
uji validitas butir skala kepemimpinan partisipatif menunjukkan tidak ada butir
yang gugur dari 25 butir yang diuji.
b.
Skala
komitmen organisasi
Hasil
uji validitas butir skala komitmen organisasi menunjukkan 5 butir yang gugur
dari 25 butir yang diuji yakni butir 2,8,9,12,16.
2.
Uji
Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana alat ukur mempunyai konsistensi relatif tetap jika
dilakukan pengukuran ulang terhadap subjek yang sama. Makin tinggi koefisien
korelasi berarti menunjukkan tingkat reliabilitas makin tinggi.koefisien
reliabilitas memiliki komponen angka yang seberapa besar tingkat korelasi dan
bertanda positif atau negatif yang berarti arah hubungan antara 0.00 sampai
1.00 . besar koefisien relibialitas yang baik adalah sebesar mungkin. Bila
koefisien relibialitas makin mendekati 1.00 berati terdapat konsistensi hasil
pengukuran yang makin sempurna (Azwar,2003).
Uji relibialitas skala religiusitas dan
skala kecenderungan agresivitas menggunakan teknik Alpha Cronbach dengan bantuan Statistical
Package for Social Sciences (SPSS) 12.0 for windows
Hasil uji relibialitas masing-masing
skala dalam penelitian ini adalah :
a.
Skala
kepemimpinan partisipatif dengan jumlah butir yang valid adalah 25 dengan
koefisien Alpha 0.915
b.
Skala
komitmen organisasi dengan jumlah butir yang valid adalah 20 dengan koefisien
Alpha 0.849
F.
Tehnik Analisis Data
Tehnik analisis ini
digunakan untuk menguji menggunakan korelasi product moment. Sebelum uji
hipotesis dilakukan uji prasyarat yaitu uji normalitas dan uji linieritas.