Otopsi psikologis adalah salah satu varian teknik profiling yang menarik. Kita ambil
contoh seorang pria yang sedang berkendaraan sendiri , menyusuri jalan raya
pengunungan yang terjal dan berbahaya. Mobilnya ke luar dari bahu jalan, terperosok
ke dalam jurang sedalam beberapa ratus kaki, menabrak batu-batu karang di
bawah, dan terbakar. Pria itu tewas. Ini contoh kematian yang tidak jelas.
Artinya tidak jelas mengapa mobilnya tergelincir masuk ke jurang. Salah satu
kemungkinannya adalah bahwa kematian pria itu
adalah murni kecelakaan, mungkin ia lelah dan terlelap selama satu atau
dua detik, mungkin ia baru saja minum alkohol, mungkin perhatiannya terganggu
pada saat mencoba menemukan CD yang ingin diputarnya. Kemungkinan kedua adalah
bahwa pria itu sengaja bunuh diri, ia tahu bahwa bila jatuh ke jurang itu ia
pasti akan mati, tetapi ia ingin agar kejadian itu tampak seperti kecelakaan
sehingga istri dan anak-anaknya akan menerima uang asuransi sebesar beberapa
ratus juta dolar (banyak kebijkan asuransi jiwa yang tidak mau menbayar uang
asuransi kepada ahli waris pemegang polisnya jika kematian itu akibat bunuh
diri). Kemungkinan ketiga adalah bahwa kematian itu sebenarnya pembunuhan yang
sengaja diatur seperti sebuah kecelakaan. Mungkin seseorang yang tahu bahwa
orang itu akan melewati bagian bukit yang berbahaya itu sengaja membuat remnya
atau kemudi mobil pria itu blong.
Seperti disiratkan oleh namanya, otopsi psikologis adalah
usaha yang dilakukan untuk “membedah” dan memeriksa keadaan psikologis
seseorang sebelum kematiannya. Tentu saja, analogi antara otopsi fisik dan
psikologis ini tidak benar-benar pas. Luka-luka pada mayat dapat diperiksa dari
dekat. Tubuh mayat itu dapat disayat dan dibedah. Bagian-bagian tubuhnya dapat
ditimbang, diukur, dan dianalisis secara kimiawi. Tidak ada “mayat psikologis”
yang komparabel untuk diperiksa. Analisis psikologis seperti otopsi harus
bersandar pada sumber-sumber bukti yang tidak begitu langsung. Biasanya,
sumber-sumber ini meliputi semua catatan yang ditinggalkan oleh almarhum
(surat, e-mail, entri jurnal, rekaman suara atau gambar, rekening bank, catatan
mahasiswa atau catatan pegawai), maupun data tentang orang itu yang diperoleh
dari teman, anggota keluarga, atau teman kerja yang melakukan kontak dengan
almarhum sebelum kematiannya. Tujuannya adalah untuk merekontrukskan keadaan
emosional, kepribadian, pikiran-pikiran, dan gaya hidup almarhum. Kesimpulan
tentang intensi dan keadaan emosioanl almarhum tidak lama sebelum kematiannya
sangat penting untuk dianalisis.
Para peneliti telah mengembangkan sebuah checklist yang membantu para pemeriksa medik untuk membedakan
antara kematian akibat bunuh diri dan kematian akibat kecelakaan. Checklist itu ditekankan pda dua
kriteria dasar: apakah kematian itu disebabkan oleh almarhum itu sendiri dan
apakah ada indikasi yang jelas akan adanya intensi untuk mati (Jobes, Casey,
Berman, dan Wright, 1991). Di banyak kasus, penyimpulan apakah kematian itu
disebabkan oleh dirinya sendiri bersifat langsung. Orang memiliki kemungkinan
untuk meracuni dirinya sendiri, melompat dari gedung yang tinggi, atau sengaja
menyetir mobilnya ke luar dari jalan perbukitan yang terjal. Orang bahkan
mungkin menenggelamkan dirinya sendiri. Tetapi sulit bagi seseorang untuk
menganiaya diri sendiri sampai mati dengan pemukul baseball atau menembak diri sendri dari jarak jauh. Jika
investigator menyimpulkan bahwa sebuah kematian disebabkan oleh diri sendiri,
mereka kemudian harus menetapkan apakah kematian itu akibat kecelakaan atau disengaja.
Sebagai contoh, psikolog lebih mungkin menyimpulkan bahwa pria yang mobilnya
terperosok ke jurang di dalam contoh di atas sengaja bunuh diri jika almarhum
diketahui menderita depresi, jika ia diketahui selalu berusaha “mengatur segala
urusannya dengan rapi,” jika ia pernah mengalami gangguan emosional atau
penyakit fisik yang serius, jika ia diketahui mengalami masalah keuangan berat,
jika ia pernah mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang dekat
dengannya, atau jika ia pernah mengungkapkan keinginnya untuk mati.
Seringkali, temuan yang diperoleh dari sebuah otopsi
psikologis tidak begitu jelas. Jika pria yang mengendarai mobil terperosok ke
jurang itu mengalami depresi semasa hidupnya, kita mungkin akan condong ke arah
penilaian bunuh diri, tetapi kita tidak
dapat memastikannya. Kadang-kadang bukti-bukti yang ada, meskipun tidak terlalu
banyak atau konklusif, mungkin cukup dapat digunakan untuk menyelesaikan isu
hukumnya. Jika si pengemudi tidak meperlihatkan tanda-tanda bunuh diri yang jelas,
anak istrinya mungkin akan menerima uang asuransinya.
Mark, Costanzo, (2008).
Psychology Applied To Law (Aplikasi
Psikologi Dalam Sistem Hukum). Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar