Pages

Jumat, 01 Juli 2016

OTOPSI PSIKOLOGIS



Otopsi psikologis adalah salah satu varian teknik profiling yang menarik. Kita ambil contoh seorang pria yang sedang berkendaraan sendiri , menyusuri jalan raya pengunungan yang terjal dan berbahaya. Mobilnya ke luar dari bahu jalan, terperosok ke dalam jurang sedalam beberapa ratus kaki, menabrak batu-batu karang di bawah, dan terbakar. Pria itu tewas. Ini contoh kematian yang tidak jelas. Artinya tidak jelas mengapa mobilnya tergelincir masuk ke jurang. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa kematian pria itu  adalah murni kecelakaan, mungkin ia lelah dan terlelap selama satu atau dua detik, mungkin ia baru saja minum alkohol, mungkin perhatiannya terganggu pada saat mencoba menemukan CD yang ingin diputarnya. Kemungkinan kedua adalah bahwa pria itu sengaja bunuh diri, ia tahu bahwa bila jatuh ke jurang itu ia pasti akan mati, tetapi ia ingin agar kejadian itu tampak seperti kecelakaan sehingga istri dan anak-anaknya akan menerima uang asuransi sebesar beberapa ratus juta dolar (banyak kebijkan asuransi jiwa yang tidak mau menbayar uang asuransi kepada ahli waris pemegang polisnya jika kematian itu akibat bunuh diri). Kemungkinan ketiga adalah bahwa kematian itu sebenarnya pembunuhan yang sengaja diatur seperti sebuah kecelakaan. Mungkin seseorang yang tahu bahwa orang itu akan melewati bagian bukit yang berbahaya itu sengaja membuat remnya atau kemudi mobil pria itu blong.
Seperti disiratkan oleh namanya, otopsi psikologis adalah usaha yang dilakukan untuk “membedah” dan memeriksa keadaan psikologis seseorang sebelum kematiannya. Tentu saja, analogi antara otopsi fisik dan psikologis ini tidak benar-benar pas. Luka-luka pada mayat dapat diperiksa dari dekat. Tubuh mayat itu dapat disayat dan dibedah. Bagian-bagian tubuhnya dapat ditimbang, diukur, dan dianalisis secara kimiawi. Tidak ada “mayat psikologis” yang komparabel untuk diperiksa. Analisis psikologis seperti otopsi harus bersandar pada sumber-sumber bukti yang tidak begitu langsung. Biasanya, sumber-sumber ini meliputi semua catatan yang ditinggalkan oleh almarhum (surat, e-mail, entri jurnal, rekaman suara atau gambar, rekening bank, catatan mahasiswa atau catatan pegawai), maupun data tentang orang itu yang diperoleh dari teman, anggota keluarga, atau teman kerja yang melakukan kontak dengan almarhum sebelum kematiannya. Tujuannya adalah untuk merekontrukskan keadaan emosional, kepribadian, pikiran-pikiran, dan gaya hidup almarhum. Kesimpulan tentang intensi dan keadaan emosioanl almarhum tidak lama sebelum kematiannya sangat penting untuk dianalisis.
Para peneliti telah mengembangkan sebuah checklist yang membantu para pemeriksa medik untuk membedakan antara kematian akibat bunuh diri dan kematian akibat kecelakaan. Checklist itu ditekankan pda dua kriteria dasar: apakah kematian itu disebabkan oleh almarhum itu sendiri dan apakah ada indikasi yang jelas akan adanya intensi untuk mati (Jobes, Casey, Berman, dan Wright, 1991). Di banyak kasus, penyimpulan apakah kematian itu disebabkan oleh dirinya sendiri bersifat langsung. Orang memiliki kemungkinan untuk meracuni dirinya sendiri, melompat dari gedung yang tinggi, atau sengaja menyetir mobilnya ke luar dari jalan perbukitan yang terjal. Orang bahkan mungkin menenggelamkan dirinya sendiri. Tetapi sulit bagi seseorang untuk menganiaya diri sendiri sampai mati dengan pemukul baseball atau menembak diri sendri dari jarak jauh. Jika investigator menyimpulkan bahwa sebuah kematian disebabkan oleh diri sendiri, mereka kemudian harus menetapkan apakah kematian itu akibat kecelakaan atau disengaja. Sebagai contoh, psikolog lebih mungkin menyimpulkan bahwa pria yang mobilnya terperosok ke jurang di dalam contoh di atas sengaja bunuh diri jika almarhum diketahui menderita depresi, jika ia diketahui selalu berusaha “mengatur segala urusannya dengan rapi,” jika ia pernah mengalami gangguan emosional atau penyakit fisik yang serius, jika ia diketahui mengalami masalah keuangan berat, jika ia pernah mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang dekat dengannya, atau jika ia pernah mengungkapkan keinginnya untuk mati.
Seringkali, temuan yang diperoleh dari sebuah otopsi psikologis tidak begitu jelas. Jika pria yang mengendarai mobil terperosok ke jurang itu mengalami depresi semasa hidupnya, kita mungkin akan condong ke arah penilaian bunuh diri, tetapi  kita tidak dapat memastikannya. Kadang-kadang bukti-bukti yang ada, meskipun tidak terlalu banyak atau konklusif, mungkin cukup dapat digunakan untuk menyelesaikan isu hukumnya. Jika si pengemudi tidak meperlihatkan tanda-tanda bunuh diri yang jelas, anak istrinya mungkin akan menerima uang asuransinya.

 Mark, Costanzo, (2008). Psychology Applied To Law (Aplikasi Psikologi Dalam Sistem Hukum). Yogyakarta:Pustaka Pelajar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar