1.
PENGERTIAN PSIKOLOGI LINTAS
BUDAYA
Psikologi
lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi
individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai
hubungan-hubungan di antara ubaha psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan
ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam
ubahan-ubahan tersebut.
Menurut
Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai
perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu
dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Definisi ini
mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia
dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan
memunculkan banyak persoalan
Salah
satu definisi konsep budaya adalah yang dikemukakan Koentjaraningrat (2002)
yang mendefinisikannya sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil
karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya
bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Definisi tersebut
mendominasi pemikiran dalam kajian-kajian budaya di Indonesia sejak tahun 70an,
sejak buku ‘Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan’ diterbitkan.
Koentjaraningrat (2002) memecahnya ke dalam 7 unsur, yakni sistem religi dan
upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan
peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara keseluruhan
2.
TUJUAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
Tujuan
dari lintas-budaya psikolog adalah untuk melihat manusia dan perilakunya dengan
kebudayaan yang ada sangat beragam dengan kebudayaan yang ada disekitar kita .
untuk melihat kedua perilaku universal dan perilaku yang unik untuk
mengidentifikasi cara di mana budaya dampak perilaku kita, kehidupan keluarga,
pendidikan, pengalaman sosial dan daerah lainnya.
3.
HUBUNGAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
DENGAN PSIKOLOGI BUDAYA & ANTROPOLOGI
Hubungan Psikologi
dan Budaya
Pada
awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya.
Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun
70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini
bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh
karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya
dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002) misalnya, menegaskan bahwa
psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas budaya. Hal
tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya.
Hubungan psikologi
dengan antropologi
Kategori
yang sering digunakan untuk merujuk kelompok budaya adalah etnisitas dan
bahasa. Sebuah kelompok etnik diposisikan sebagai satu kelompok budaya.
Demikian juga masyarakat yang menggunakan bahasa khasnya sendiri diperlakukan
sebagai satu kelompok budaya khusus. Asumsinya mendasarkan pada pendapat
Jacques Lacan, yang menyatakan bahwa manusia terkungkung pada bahasa yang
digunakannya. Bahasa adalah penentu budaya manusia. Dunia dipahami manusia dari
kelompok budaya berbeda secara berbeda karena bahasa yang digunakan untuk
memahaminya juga berbeda. Oleh karena itu orang minang, meskipun dilahirkan di
luar Sumatera Barat, namun sepanjang ia dibesarkan dengan bahasa ibu bahasa
minangkabau, maka ia semestinya dimasukkan dalam kelompok budaya minangkabau.
Sebaliknya apabila dia dibesarkan dengan bahasa ibu bahasa jawa, maka
semestinya ia dikelompokkan ke dalam kelompok budaya jawa, meskipun ibu bapanya
orang minang. Lantas bagaimana bila ibu minang, bapak jawa dan sang anak
dibesarkan dengan bahasa indonesia, apakah kemudian sang anak menjadi kelompok
budaya indonesia dan tidak menjadi minang ataupun jawa?
Pada
umumnya penelitian psikologi lintas budaya dilakukan lintas negara atau lintas
etnis. Artinya sebuah negara atau sebuah etnis diperlakukan sebagai satu
kelompok budaya. Dari sisi praktis, hal itu sangat berguna. Meskipun hal
tersebut juga menimbulkan persoalan, apakah sebuah negara bisa diperlakukan
sebagai satu kelompok budaya bila didalamnya ada ratusan etnik seperti halnya
indonesia? Dalam posisi seperti itu, penggunaan bahasa nasional yakni bahasa
indonesia menjadi dasar untuk menggolongkan seluruh orang indonesia ke dalam
satu kelompok budaya.
Pada
akhirnya tidak ada kategori kaku yang bisa digunakan untuk melakukan
pengelompokan budaya. Apakah batas-batas budaya itu ditandai dengan ras, etnis,
bahasa, atau wilayah geografis, semuanya bisa tumpang tindih satu sama lain
atau malah kurang relevan.
4.
ETNOSENTRISME DALAM PSIKOLOGI
Menurut
Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu
sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel.
Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu
realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku
orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah
etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan
untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu
berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang
lain berdasarkan latar belakang budayanya.
5.
ENKULTURASI DAN SOSIALISASI
Pengertian Sosial
Budaya
Sosialisasi
adalah; Proses pembelajaran terhadap norma-norma yang berlaku shg dapat
berperan dan diakui oleh kelompok masyarakat
Proses
sosialisasi. Proses ini bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam
hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa
anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan
segala macam individu di sekililingnya yag menduduki beraneka macam peranan
sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari.
Enkulturasi
adalah proses pengenalan norma yang berlaku di masyarakat.Proses Enkulturasi.
Dalam proses ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran
serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan
yang hidup dalam kebudayaannya. Kata enkulturasi dalam bahas Indonesia juga
berarti “pembudayaan”. Sorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan
membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang
memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam
kepribadiannya.
M.J.Herskovits
berpendapat bahwa perbedaan antar enculturation (enkulturasi) dengan
socialization (sosialisasi) adalah sebagai berikut ;
·
Enculturation
(enkulturasi) adalah suatu proses bagi seorang baik secara sadar maupun tidak
sadar, mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat.
·
Socialization
(sosialisasi) adalah suatu proses bagi seorang anak untuk menyesuaikan diri
dengan norma-norma yang berlaku dalam keluarganya.
Secara
singkat perbedaan antara enkulturasi dan sosialisasi adalah dalam enkulturasi
seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya dengan lingkungan
kebudayaannya, sedangkan sosialisaasi si individu melakukan proses penyesuaian
diri dengan lingkungan sosial.
6.
PERKEMBANGAN MORAL
Teori Piaget
Dalam
bukunya The moral judgement of the Child
(1923) Piaget menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan
dari satu tahap yang lebih tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan
Piaget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan.
Pertama kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai
pembatasan) dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu. Dan melalui perkembangan
umur maka orientasi perkembangan itupun berkembang dari sikap heteronom (
bahwasannya peraturan itu berasal dari diri orang lain) menjadi otonom 9 dari
dalam diri sendiri. Pada tahap heteronom anak-anak menggangap bahwa peraturan
yang diberlakukan dan berasal dari bukan dirinya merupakan sesuatu yang patut
dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati oleh pemain. Pada tahap otonom,
anak-anak beranggapan bahwa perauran-peraturan merupakan hasil kesepakatan
bersama antara para pemain.
Pada usia 11 sampai 12 tahun kemampuan
anak untuk berfikir abstrak mulai berkembang. Pada umur umur itu, kodifikasi (
penentuan) peraturan sudah dianggap perlu. Kadang-kadang mereka lebih asyik tertarik
pada soal-soal peraturan daripada menjalankan permainannya sendiri.
Kohlberg
kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang
kemudian dibagi dalam tiga taraf.
·
Taraf
Pra-Konvensional
·
Conventional
Level ( taraf Konvensional)
·
Tahap
interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation.
·
Tahap
law and order, orientation
·
Postoonventional
Level ( taraf sesudah konvensional)
·
Social
contract orientation
Kemampuan
berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena
mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang
mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu
merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan”
yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan”
remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat.
Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang
mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan
mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat
mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu
saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri
remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak
menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai
nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak
akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan
yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan
nilai-nilai tersebut.
Peranan
orangtua atau pendidik sangat besar dalam memberikan alternatif jawaban dari
hal hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya
1.
PENGERTIAN PSIKOLOGI LINTAS
BUDAYA
Psikologi
lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi
individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai
hubungan-hubungan di antara ubaha psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan
ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam
ubahan-ubahan tersebut.
Menurut
Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai
perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu
dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Definisi ini
mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia
dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan
memunculkan banyak persoalan
Salah
satu definisi konsep budaya adalah yang dikemukakan Koentjaraningrat (2002)
yang mendefinisikannya sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil
karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya
bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Definisi tersebut
mendominasi pemikiran dalam kajian-kajian budaya di Indonesia sejak tahun 70an,
sejak buku ‘Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan’ diterbitkan.
Koentjaraningrat (2002) memecahnya ke dalam 7 unsur, yakni sistem religi dan
upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,
bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan
peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara keseluruhan
2.
TUJUAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
Tujuan
dari lintas-budaya psikolog adalah untuk melihat manusia dan perilakunya dengan
kebudayaan yang ada sangat beragam dengan kebudayaan yang ada disekitar kita .
untuk melihat kedua perilaku universal dan perilaku yang unik untuk
mengidentifikasi cara di mana budaya dampak perilaku kita, kehidupan keluarga,
pendidikan, pengalaman sosial dan daerah lainnya.
3.
HUBUNGAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
DENGAN PSIKOLOGI BUDAYA & ANTROPOLOGI
Hubungan Psikologi
dan Budaya
Pada
awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya.
Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun
70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini
bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh
karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya
dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002) misalnya, menegaskan bahwa
psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas budaya. Hal
tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya.
Hubungan psikologi
dengan antropologi
Kategori
yang sering digunakan untuk merujuk kelompok budaya adalah etnisitas dan
bahasa. Sebuah kelompok etnik diposisikan sebagai satu kelompok budaya.
Demikian juga masyarakat yang menggunakan bahasa khasnya sendiri diperlakukan
sebagai satu kelompok budaya khusus. Asumsinya mendasarkan pada pendapat
Jacques Lacan, yang menyatakan bahwa manusia terkungkung pada bahasa yang
digunakannya. Bahasa adalah penentu budaya manusia. Dunia dipahami manusia dari
kelompok budaya berbeda secara berbeda karena bahasa yang digunakan untuk
memahaminya juga berbeda. Oleh karena itu orang minang, meskipun dilahirkan di
luar Sumatera Barat, namun sepanjang ia dibesarkan dengan bahasa ibu bahasa
minangkabau, maka ia semestinya dimasukkan dalam kelompok budaya minangkabau.
Sebaliknya apabila dia dibesarkan dengan bahasa ibu bahasa jawa, maka
semestinya ia dikelompokkan ke dalam kelompok budaya jawa, meskipun ibu bapanya
orang minang. Lantas bagaimana bila ibu minang, bapak jawa dan sang anak
dibesarkan dengan bahasa indonesia, apakah kemudian sang anak menjadi kelompok
budaya indonesia dan tidak menjadi minang ataupun jawa?
Pada
umumnya penelitian psikologi lintas budaya dilakukan lintas negara atau lintas
etnis. Artinya sebuah negara atau sebuah etnis diperlakukan sebagai satu
kelompok budaya. Dari sisi praktis, hal itu sangat berguna. Meskipun hal
tersebut juga menimbulkan persoalan, apakah sebuah negara bisa diperlakukan
sebagai satu kelompok budaya bila didalamnya ada ratusan etnik seperti halnya
indonesia? Dalam posisi seperti itu, penggunaan bahasa nasional yakni bahasa
indonesia menjadi dasar untuk menggolongkan seluruh orang indonesia ke dalam
satu kelompok budaya.
Pada
akhirnya tidak ada kategori kaku yang bisa digunakan untuk melakukan
pengelompokan budaya. Apakah batas-batas budaya itu ditandai dengan ras, etnis,
bahasa, atau wilayah geografis, semuanya bisa tumpang tindih satu sama lain
atau malah kurang relevan.
4.
ETNOSENTRISME DALAM PSIKOLOGI
Menurut
Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu
sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel.
Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu
realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku
orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah
etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan
untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu
berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang
lain berdasarkan latar belakang budayanya.
5.
ENKULTURASI DAN SOSIALISASI
Pengertian Sosial
Budaya
Sosialisasi
adalah; Proses pembelajaran terhadap norma-norma yang berlaku shg dapat
berperan dan diakui oleh kelompok masyarakat
Proses
sosialisasi. Proses ini bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam
hubungan dengan sistem sosial. Dalam proses itu seorang individu dari masa
anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan
segala macam individu di sekililingnya yag menduduki beraneka macam peranan
sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari.
Enkulturasi
adalah proses pengenalan norma yang berlaku di masyarakat.Proses Enkulturasi.
Dalam proses ini seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran
serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, serta peraturan-peraturan
yang hidup dalam kebudayaannya. Kata enkulturasi dalam bahas Indonesia juga
berarti “pembudayaan”. Sorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan
membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang
memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam
kepribadiannya.
M.J.Herskovits
berpendapat bahwa perbedaan antar enculturation (enkulturasi) dengan
socialization (sosialisasi) adalah sebagai berikut ;
·
Enculturation
(enkulturasi) adalah suatu proses bagi seorang baik secara sadar maupun tidak
sadar, mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat.
·
Socialization
(sosialisasi) adalah suatu proses bagi seorang anak untuk menyesuaikan diri
dengan norma-norma yang berlaku dalam keluarganya.
Secara
singkat perbedaan antara enkulturasi dan sosialisasi adalah dalam enkulturasi
seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikirannya dengan lingkungan
kebudayaannya, sedangkan sosialisaasi si individu melakukan proses penyesuaian
diri dengan lingkungan sosial.
6.
PERKEMBANGAN MORAL
Teori Piaget
Dalam
bukunya The moral judgement of the Child
(1923) Piaget menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan
dari satu tahap yang lebih tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan
Piaget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan.
Pertama kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai
pembatasan) dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu. Dan melalui perkembangan
umur maka orientasi perkembangan itupun berkembang dari sikap heteronom (
bahwasannya peraturan itu berasal dari diri orang lain) menjadi otonom 9 dari
dalam diri sendiri. Pada tahap heteronom anak-anak menggangap bahwa peraturan
yang diberlakukan dan berasal dari bukan dirinya merupakan sesuatu yang patut
dipatuhi, dihormati, diikuti dan ditaati oleh pemain. Pada tahap otonom,
anak-anak beranggapan bahwa perauran-peraturan merupakan hasil kesepakatan
bersama antara para pemain.
Pada usia 11 sampai 12 tahun kemampuan
anak untuk berfikir abstrak mulai berkembang. Pada umur umur itu, kodifikasi (
penentuan) peraturan sudah dianggap perlu. Kadang-kadang mereka lebih asyik tertarik
pada soal-soal peraturan daripada menjalankan permainannya sendiri.
Kohlberg
kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang
kemudian dibagi dalam tiga taraf.
·
Taraf
Pra-Konvensional
·
Conventional
Level ( taraf Konvensional)
·
Tahap
interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation.
·
Tahap
law and order, orientation
·
Postoonventional
Level ( taraf sesudah konvensional)
·
Social
contract orientation
Kemampuan
berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena
mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang
mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu
merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan”
yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan”
remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat.
Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang
mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan
mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat
mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu
saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri
remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak
menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai
nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak
akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan
yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan
nilai-nilai tersebut.
Peranan
orangtua atau pendidik sangat besar dalam memberikan alternatif jawaban dari
hal hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya