BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika kita mendengar kata "hukum," apa yang pertama kali
terlintas dalam benak kita? Jarang sekali kita langsung membayangkan suatu
perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita
terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang
mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan,
atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi
rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang
sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum.
Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar, kalau saja kita belum memahami
sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri.
Pada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di
mana ketidak - teraturan dan kesewenang - wenangan juga kepentingan-kepentingan
dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses
terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan.
Ketentuan - ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya
dikenal sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya
hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan.
Menururt Rahardjo (2006) kompleksnya permasalahan hukum tidak hanya semata
peramasahan hukum saja melainkan masalah perilaku manusia. Hukum dibuat manusia
untuk mengatur perilaku manusia sangat tertib dan teratur. Namun realitas
menunjukkan seringkali hukum menjadi “mainan” manusia untuk mewujudkan kepentingan.
Hukum dijadikan alat untuk mecapai tujuan. Seseorang politikus, akan
menggunakan hukum untuk kepentingan politiknya, seorang pengusaha akan
menggunakan hukum untuk kepentingan bisnisnya dan sebagainya. Pemaknaan hukum
berdasarkan tujuan dan kepentingan masing-masing menjadi suatu dilema
tersendiri dalam dunia peradilan. Asas - asas keadilan cenderung diabaikan,
digeser oleh asa-asas kepentingan bersifat personal atau kelompok. Manusia
menjadi aktor utama dalam proses penegakan hukum. Masalahnya sekarang ini
banyak perilaku-perilaku oknum cenderung menggunakan “kelemahan “ hukum untuk
mengambil suatu kesempatan dalam menggapai tujuan. Logikanya hukum menjadi
suatu alat untuk memutar balikan fakta bahkan menjadi suatu alat untuk
menyerang orang lain.
Fenomena telah banyak kita lihat sekarang ini. Berkaitan dengan perilaku
manusia salah satu ilmu yang relevan dengan tersebut adalah psikologi.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia.
Dalam perjalanannya psikologi banyak berinteraksi dengan ilmu-ilmu lainnya
termasuk hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai
psikologi forensik.
Guna dapat menjalankan
peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu menguasai pengetahuan
psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog forensik.
Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis,
psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog
forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibanding psikolog umum.
Pada penanganan
pelaku/korban/saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan.
Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa
dibutuhkan kemampuan psikologi sosial. Pada saat ini, banyak psikolog yang
sudah terlibat sebagai psikolog forensik, namun tidak adanya standar yang jelas
membuat psikolog yang terjun di kegiatan forensik menjalankan sesuai dengan
pertimbangannya masing-masing. Hal ini berdampak pada penilaian pelaku hukum
dan masyarakat yang menjadi bingung dan tidak memahami kinerja psikolog
forensik yang beragam.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini
1.
Apa itu
psikologi forensik ?
2.
Apa itu
pembunuhan berantai, ciri – cirinya dan proses profiling?
3.
Bagaimana
proses otopsi psikologis?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini diharapkan kita semua dapat :
1.
Menjelaaskaan
secara rinci apa itu psikologi forensik
2.
Menjelaskan
apa itu pembunuhan berantai , ciri –
cirinya serat proses profiling
3.
Memahami proses otopsi psikologis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Psikologi Forensik
Psikologi Forensik , Forensik berasal dari bahasa Yunani yaitu Forensis yang bermakna debat atau
perdebatan. Forensik adalah ilmu apapun yang digunakan untuk tujuan hukum
dengan tidak memihak bukti ilmiah untuk digunakan dalam pengadilan hukum, dan
dalam penyelidikan dan pengadilan pidana (Wijaya
2009). Individu yang berkecimpung pada psikologi forensik dapat dibedakan
sebagai berikut :
a.
Ilmuwan Psikologi Forensik. Tugasnya
melakukan kajian/penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia
dalam proses hukum;
b.
Praktisi psikolog forensik. Tugasnya
memberikan bantuan profesional berkaitan dengan permasalahan hukum
Berikut ini merupakan beberapa tugas psikologi forensik :
1.
Berhubungan
dengan pelaku yakni membantu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan
gambaran tentang kondisi mental pelaku.
2.
Berhubungan
dengan korban yakni membantu polisi dalam melakukan penggalian informasi
terhadap korban, misalnya kepada anak-anak atau wanita korban kekerasan.
3.
Berhubungan
dengan saksi yakni melakukan teknik investigasi saksi yang tepat antara lain
teknik hipnosis dan wawancara kognitif.
4.
Tugas di
pengadilan yakni sebagai saksi ahli, bagi korban, dan bagi pelaku dengan
permasalahan psikologis termasuk dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan
masukan, terkait dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar
tampak meyakinkan.
5.
Tugas di
lembaga pemasyarakatan yakni dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi
psikologis pada narapidana
Oleh kalangan para psikolog forensik (dalam
sunberg dkk 2007) mengatakan bahwa yang menjadi eksplorasi psikologi
forensik dikelompokkan menjadi empat bagian diantaranya:
- Psychology of criminal conduct, psychology of criminal behaviour, psychological study of crime, criminal psychology.
- Forensic clinical psychology, correctional psychology, assesmnet dan penanganan atau rehabilitasi prilaku yang tidak diinginkan secara sosial.
- Mempelajarai tentang metode atau tekhnik yang digunakan oleh badan kepolisian antara lain police psychology, behavioural science, and investigative psychology.
- Bidang psychology and law terutama difokuskan pada proses persidangan hukum dan sikap serta keyakinan partisipannya
B.
Pembunuhan Berantai
Menurut
definisi sudut pandang kriminal, pembunuh berantai adalah seseorang yg membunuh
satu orang atau lebih dengan rentang waktu tidak membunuh selama 30 hari atau
lebih di antaranya. Motivasi pembunuh berantai umumnya murni dari dalam dirinya
sendiri, bukan paksaan atau bujukan dari orang lain. Para pembunuh berantai
sendiri umumnya adalah orang yg tersingkirkan atau sengaja menarik diri dari
lingkungannya. Karena itu, pembunuh berantai sering diidentikkan dengan
perilaku antisosial. Akibat menarik diri dari lingkungan, mereka tumbuh menjadi
pribadi yg egosentris & tidak punya rasa empati pada orang lain. Pada
pembunuh berantai yang menjurus psikopat, ia berpikir bahwa nyawa hewan tak ada
bedanya dengan nyawa manusia, sehingga sering menunjukkan sifat tidak menyesal
usai membunuh .
Sebagai masyarakat modern, kita dibombardir dengan gambar dan konsep
tentang pembunuh berantai. Apakah ada di film, serial televisi, dan terburuk
dari semua berita menampilkan pembunuhan berantai. Tak hanya di luar negeri
saja maraknya pembunuhan berantai, di indonesia pembunuhan berantai sedang
marak-maraknya. Sungguh menabjubkan seseorang dapat membunuh banyak orang tanpa
rasa bersalah. Berbagai modus yang diungkap sehingga tersangka melakukan
pembunuhan berantai. Uang, cinta hingga rasa sakit hati merupakan salah satu
dari sekian banyak modus yang di gunakan tersangka untuk melakukan pembunuhan
berantai.
Ciri-ciri Pembunuhan Berantai
Tidak ada
daftar ciri yang menggambarkan semua pembunuh berantai. Tetapi, penelitian telah mengungkap beberapa
pola berulang pada pembunuh-pembunuh berantai. Banyak diantara mereka yang
menderita cedera otak, yang menggangu proses berpikir rasionalnya. Sebagian
besar pernah mengalami penganiayaan fisik, seksual, dan atau psikologis
tertentu di masa kanak-kanak , (Hickey, 1997). Malajudsement (gangguan Penyusaian) selama masa kanak-kanak
mereka kadang-kadang diekspresikan dalam bentuk tindakan kejam terhadap
binatang. Hampir semuanya adalah pria kulit putih dengan tingkat kecerdasan
biasa-biasa saja. Sebagian besar berusaha mendominasi korban sebelum kemudian
membunuhnya. Mereka cenderung tidak membunuhnya dengan senjata api dan lebih
suka menggunakan metode-metode yang lebih intim seperti mencekik, menikam atau
bahkan menyiksa.
Sebelum
membunuh mereka seringkali meminum alkohol atau menggunakan obat bius , mungkin
untuk mendesensisitasi dirinya sendiridan mengurangi hambatan untuk
melaksanakan niatnya (Hickey, 1997). Mereka cenderung memilih korban dengan
tipe-tipe tertentu. Misalnya, hanya wanita muda yang berkulit putih pucat .
Pembunuh
berantai sering memperlihatkan minat obsesif terhadap pornografi yang
mengandung kekerasan dan pembunuhan berantai biasanya merupakan tindak
kejahatan yang melibatkan seks. Fantasi
seksual pembunuh mungkin semacam latihan sebelum melakukan tindak
kejahatannya. Banyak pembunuh berantai
yang memutar-ulang “rekaman” pembunuhan yang pernah terjadi sebelumnya di dalam
pikirannya sebagai stimulasi seksualnya. Sebagian bahkan membuat rekaman video
pembunuhannya sehingga ia dapat menontonnya berulang-ulang. Untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
fantasinya, sebagian menyimpan tanda mata dari korbannya (misalnya jepit
rambutnya) dan mengumpulkan klipping surat kabar yang membuat laporan tindak
kejahatannya (Fox dan Levin,1998). Profiler kadang-kadang membedakan antara
pembunuh yang terorganisasi dan yang tidak terorganisasi (Ressler,Burgess, dan
Douglas, 1988).
Pembunuh
yang terorganisasi memilih korbannya dengan cermat dan merancanakan dengan
seksama apa yang akan mereka lakukan terhadap korbannya. Mereka menunjukkan
kesabaran dan kontrol diri yang tinggi dengan menggunakan kesempatan yang tepat
dan membersihkan bukti-bukti setelah selesai membunuh. Mereka juga cenderung menggunakan
ritual yang lebih elaboratif , yang melibatkan penyiksaan terhadap korban dan
memotong-motong mayatnya. Sebaliknya, pembunuh yang tidak terorganisasi
cenderung bersikap impulsif, membunuh akibat amarah yang muncul tiba-tiba atau
mengikuti perintah untuk membunuh yang “terdengar” di kepalanya. Pembunuh yang
tidak terorganisasi enderung menggunakan senjata apapun yang kebetulan ada di
sana, meninggalkan senjatanya di TKP, dan menggunakan mayat korbannya untuk
memenuhi tujuan-tujuan seksualnya.
Skema
klasifikasi yang lebih teridentifikasi dikemukan oleh Ronald Holmes. Holmes
mengelompokkan pembunuh berantai menjadi empat tipe : visioner, berorientasi
pada misi tertentu, hedonistik, dan berorientasi pada kekuasaan. Tipe-tipe
visioner biasanya psikiotik. Mereka memiliki visi atau keyakinan bahwa mereka
mendengar suara Tuhan atau suara arwah yang memerintahkan kepada mereka untuk
membunuh orang-orang dengan tipe tertentu. Tipe yang berorientasi pada misi
tertentu tidak terlalu psikopatik tetapi dimotivasi oleh keinginan untuk
membunuh orang-orang yang mereka anggap jahat atau menjijikan. Tipe hedonistik
membunuh untuk mendapatkan sensasi tertentu dan mendapatkan kenikmatan sensual
secara sadistis dengan menyiksa korbannya. Tipe keempat yang berorientasi pada
kekuasaan mendapatkan kepuasaan dengan menagkap dan mengontrol sebelum membunuh
Proses
Profiling
Teknik-teknik criminal profiling (profiling
kriminal) dipelopori oleh unit profiling and Behavioral Assesment (profiling dan Pengukuran
Perilaku ) . FBI yang dahulu disebut Behavior Science Unit (Unit Ilmu Perilaku)
di Quantico , Virginia. Hanya sekitar 14
profiler yang bekerja diunit FBI tersebut. Teknik-teknik profiling (yang juga
dikenal sebagai retroklasifikasi atau analisis investigasi kriminal) yang
digunkan oleh FBI itu pernah diterapkan dengan sangat berhasil dan menjadi
terkenal di dalam kasus-kasus yang melibatkan pembunuh berantai. Untuk
membangun fondasi profiling , agen-agen FBI mewawancara lebih dari 40 pembunuh
berantai yang dipenjara dan memasukkan sifat dan ciri-ciri tindak kejahatan
mereka ke dalam basis data komputer. Untuk menyusun sebuah profil, para petugas
penyidikan menganalisis TKP, mengumpulkan informasi tentang korban-korbannya,
dan menelaah laporan polisi dan laporan hasil otopsi . informasi-informasi dari sumber-sumber ini
digunakan untuk membuat deskirpsi atau “profil”.para profiler yang pernah
bekerja di FBI menekankan tentang tentang pentingnya “aspek signature” dari
tindak kejahatan yang dimaksud. Aspek “Signature” adalah aspek pribadi dan khas
dari tindak kejahatan tersebut yang diduga dapat mengungkapkan kepribadian si
pembunuh.
C.
Otopsi Psikologi
Pendekatan otopsi psikologi masih relatif baru dalam lingkup
pemanfaatan psikologi sebab metode ini belum banyak dikenal dalam membantu proses pemecahan kasus
kriminal. Dikatakan relatif baru dalam pengertian bahwa sejauh ini belum ada
perhatian secara serius dalam psikologi sebagai bidang keilmuan. Di samping
itu, belum banyak pengguna yang mengetahui bahwa pendekatan ini dapat
dimanfaatkan dalam membantu proses pengungkapan kasus spesifik bagi lingkungan
penegak hukum yang secara langsung bersentuhan dengan dunia kriminal.
Pengertian otopsi psikologi, mengacu pada
pengertian umum mengenai proses otopsi medis yang terkait dengan proses bedah
mayat untuk mengetahui sebab-sebab kematian seseorang secara fisiologis
(medis). Dalam pengertian yang spesifik, otopsi psikologi atau dikenal dengan
sebutan retrospective death assesment, evaluasi
rekonstruktif maupun analisis kematian equivocal (Katherine Ramsland,2006) pada
dasarnya merupakan satu upaya untuk
melakukan identifikasi sebab-sebab kematian seseorang yang dianggap masih
kabur/tidak jelas penyebabnya.lebih jauh, Ramsland menyebut otopsi psikologi
sebagai metode tertentu yang
dipergunakan untuk meneliti secara cermat riwayat perjalanan kehidupan
seseorang sebelum kematiannya.
Dalam kondisi faktor penyebab kematian tidak
jelas , proses otopsi medis sangat
diperlukan. Sekalipun demikian, boleh jadi setelah dilakukan proses otopsi
medis sekalipun, faktor penyebab kematian tetap menjadi misteri . sebagai
contoh, seseorang yang dinyatakan meninggal dunia (secara medis) karena luka
benturan benda tumpul di kepala dapat saja disebabkan orang itu dianiaya dengan
benda tumpul dikepala, tanpa sengaja kepalanya terbentur benda tumpul, atau
korban sengaja membenturkan kepalanya pada benda tumpul. Tentu saja, dalam
kasus khusus seperti ini, otopsi medis dapat saja dibantu dengan proses otopsi
psikologis maupun analisis forensik lainnya. Gagasan dasar dari proses otopsi
psikologi adalah mengungkap kondisi mental kepribadian dan kondisi pemikiran
(state of mind) korban sebelum
kematiannya, khususnya pada kasus-kasus adanya dugaan bunuh diri.
Mengacu pada pengertian tersebut proses otopsi
psikologi tidak sama dengan proses otopsi medis, yaitu tidak melakukan proses
pembedahan secara fisik tetapi pembedahan terhadap riwayat pada perjalanan
hidup korban sampai saat-saat akhir kematiannya. Kegiatannya yang dilaksanakan
dalam proses otopsi psikologi dilakukan melalui penelitian, pengungkapan
data-data, dan riwayat hidup korban melalui wawancara terhadap orang-orang yang
mempunyai hubungan dekat dengan dengan korban.
Secara spesifik dan lebih terperinci, Sherry
Russel (2004) menyatakan bahwa beberapa data yang diperlukan dalam proses
otopsi psikologi adalah sebagai berikut :
a.
Informasi pribadi (personal information)
b.
Riwayat status kesehatan mental/kejiwaan
c.
Riwayat keluarga (family history)
d.
Visum edrepartum (VER) kematian korban
e.
Riwayat kematian dalam keluarga
f.
Riwayat kesehatan medis (medical record)
g.
Riwayat adanya kondisi stress/depresi
setidaknya dalam 1 tahun terakhir
h.
Laporan polisi/laporan kemajuan penyelidikan
i.
Reaksi keluarga/teman terhadap kabar kematian
j.
Bukti adanya tulisan yang ditinggalkan (bila
ada)
k.
Riwayat penggunaan alkohol dan obat-obatan
tertentu (drugs)
l.
Barang bukti yang didapatkan yang di TKP
m.
Riwayat sikap dan perilaku emosional, stress
dan ketakutan tertentu
n.
Perubahan kebiasaan, sikap dan perilaku, hoby,
pasangan seksual, dan kehidupan rutin
Theodore H. Blau (1994) menambahkan bahwa
dalam proses wawancara terhadap keluarga /teman/tetangga korban, beberapa hal
yang harus didalami adalah sebagai berikut :
a.
Bukti-bukti adanya kondisi psikologis yang
menyakitkan (psychological pain)
b.
Bukti-bukti adanya kondisi frustasi
c.
Adanya ancaman tertentu dari orang lain
d.
Bukti adanya perencanaan tertentu misalnya
rencana bunuh diri
e.
Bukti adanya rasa ketidakberdayaan/tanpa
harapan
f.
Kondisi ambivalensi (kebingungan/depresi)
g.
Kondisi pemikiran/ide yang menghantui
h.
Adanya upaya-upaya untuk melakukan upaya bunuh
diri sebelumnya
Setelah
data-data tersebut diperoleh melalui proses wawancara dan penelitian yang
mendalam, selanjutnya dilakukan analisis untuk mencermati faktor-faktor dominan
yang diperkirakan sebagai faktor penyebab kematian. Fakta-fakta mengenai
kondisi mental psikologis, kondisi stress, depresi, frustasi, ketidakberdayaan
dan sebagainya merupakan fakta yang harus dianalisis secara psikologis,
khususnya dikaitkan dengan kemungkinan kondisi tersebut mendorong seseorang
untuk melakukan bunuh diri.
Bilamana
bukti-bukti psikologis tersebut tidak ditemukan dari korban, analisis dapat
difokuskan pada fakta-fakta keberadaan orang lain,ancaman, atau kondisi lain
yang diperkirakan memungkinkan orang tersebut menjadi korban pembunuhan atau
korban kecelakaan. Meskipun dalam kenyataan secara psikologis, korban
kecelakaan dan korban bunuh diri sering sulit untuk dibedakan, sangat
dimungkinkan sebuah kejadian kecelakaan yang sepintas seolah-olah merupakan
kelalaian yang menyebabkan meninggalnya korban, sebenarnya merupakan upaya
bunuh diri secara tersamar.
Hasil dari
proses otopsi psikologis, seperti yang telah ditegaskan oleh Blau (1994)
mengarah pada kesimpulan berupa skenario yang paling mendekati dari kematian
korban. Kesimpulan ini secara spesifik memuat kemungkinan kejadian secara
kronologis (Kronilogical story) yang menjelaskan proses kematian korban serta
kemungkinan faktor penyebabnya
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Fisikologi forensik merupkan bagian dari ilmu psikologi yang berkaitan
dengan hukum.
2.
Pembunuh berantai adalah seseorang yg
membunuh satu orang atau lebih dengan rentang waktu tidak membunuh selama 30
hari atau lebih di antaranya, dan motivasi pembunuh berantai umumnya murni dari
dalam dirinya sendiri, bukan paksaan atau bujukan dari orang lain dan umumnya
adalah orang yang tersingkirkan atau sengaja menarik diri dari lingkungannya.
3.
Otopsi psikologi atau dikenal dengan sebutan retrospective death assesment merupakan evaluasi
rekonstruktif maupun analisis kematian equivocal, pada dasarnya merupakan satu upaya untuk melakukan identifikasi
sebab-sebab kematian seseorang yang dianggap masih kabur/tidak jelas
penyebabnya dan merupakan metode
tertentu yang dipergunakan untuk meneliti secara cermat riwayat perjalanan
kehidupan seseorang sebelum kematiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Constanzo
Mark (2008). Aplikasi Psikologi dalam
Sistem Hukum. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Akhdiat
Hendra dan Marliani Rosleni (2011).Psikologi
Hukum. Bandung : Pustaka Setia
Ah es doger exotic lu! ga pernah becus! mampus aja lu!
BalasHapus