Pages

Sabtu, 30 Maret 2013

MAKALAH PSIKOLOGI HUKUM "FORENSIK"



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Ketika kita mendengar kata "hukum," apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri.
Pada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak - teraturan dan kesewenang - wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan - ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan.
Menururt Rahardjo (2006) kompleksnya permasalahan hukum tidak hanya semata peramasahan hukum saja melainkan masalah perilaku manusia. Hukum dibuat manusia untuk mengatur perilaku manusia sangat tertib dan teratur. Namun realitas menunjukkan seringkali hukum menjadi “mainan” manusia untuk mewujudkan kepentingan. Hukum dijadikan alat untuk mecapai tujuan. Seseorang politikus, akan menggunakan hukum untuk kepentingan politiknya, seorang pengusaha akan menggunakan hukum untuk kepentingan bisnisnya dan sebagainya. Pemaknaan hukum berdasarkan tujuan dan kepentingan masing-masing menjadi suatu dilema tersendiri dalam dunia peradilan. Asas - asas keadilan cenderung diabaikan, digeser oleh asa-asas kepentingan bersifat personal atau kelompok. Manusia menjadi aktor utama dalam proses penegakan hukum. Masalahnya sekarang ini banyak perilaku-perilaku oknum cenderung menggunakan “kelemahan “ hukum untuk mengambil suatu kesempatan dalam menggapai tujuan. Logikanya hukum menjadi suatu alat untuk memutar balikan fakta bahkan menjadi suatu alat untuk menyerang orang lain.
Fenomena telah banyak kita lihat sekarang ini. Berkaitan dengan perilaku manusia salah satu ilmu yang relevan dengan tersebut adalah psikologi. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan proses mental manusia. Dalam perjalanannya psikologi banyak berinteraksi dengan ilmu-ilmu lainnya termasuk hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik.
Guna dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu menguasai pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibanding psikolog umum.
Pada penanganan pelaku/korban/saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan. Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa dibutuhkan kemampuan psikologi sosial. Pada saat ini, banyak psikolog yang sudah terlibat sebagai psikolog forensik, namun tidak adanya standar yang jelas membuat psikolog yang terjun di kegiatan forensik menjalankan sesuai dengan pertimbangannya masing-masing. Hal ini berdampak pada penilaian pelaku hukum dan masyarakat yang menjadi bingung dan tidak memahami kinerja psikolog forensik yang beragam.
B.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini
1.      Apa itu psikologi forensik ?
2.      Apa itu pembunuhan berantai,  ciri – cirinya  dan proses profiling?
3.      Bagaimana proses otopsi psikologis?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini diharapkan kita semua dapat :
1.      Menjelaaskaan secara rinci apa itu psikologi forensik
2.      Menjelaskan apa itu pembunuhan berantai ,  ciri – cirinya serat proses profiling
3.      Memahami  proses otopsi psikologis





BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Psikologi Forensik
Psikologi Forensik , Forensik berasal dari bahasa Yunani yaitu Forensis yang bermakna debat atau perdebatan. Forensik adalah ilmu apapun yang digunakan untuk tujuan hukum dengan tidak memihak bukti ilmiah untuk digunakan dalam pengadilan hukum, dan dalam penyelidikan dan pengadilan pidana (Wijaya 2009). Individu yang berkecimpung pada psikologi forensik dapat dibedakan sebagai berikut :
a.      Ilmuwan Psikologi Forensik. Tugasnya melakukan kajian/penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia dalam proses hukum;
b.      Praktisi psikolog forensik. Tugasnya memberikan bantuan profesional berkaitan dengan permasalahan hukum
Berikut ini merupakan beberapa tugas psikologi forensik :
1.      Berhubungan dengan pelaku yakni membantu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku.
2.      Berhubungan dengan korban yakni membantu polisi dalam melakukan penggalian informasi terhadap korban, misalnya kepada anak-anak atau wanita korban kekerasan.
3.      Berhubungan dengan saksi yakni melakukan teknik investigasi saksi yang tepat antara lain teknik hipnosis dan wawancara kognitif.
4.      Tugas di pengadilan yakni sebagai saksi ahli, bagi korban, dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis termasuk dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan, terkait dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan.
5.      Tugas di lembaga pemasyarakatan yakni dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana
Oleh kalangan para psikolog forensik (dalam sunberg dkk 2007) mengatakan bahwa yang menjadi eksplorasi psikologi forensik dikelompokkan menjadi empat bagian diantaranya:
  1. Psychology of criminal conduct, psychology of criminal behaviour, psychological study of crime, criminal psychology.
  2. Forensic clinical psychology, correctional psychology, assesmnet dan penanganan atau rehabilitasi prilaku yang tidak diinginkan secara sosial.
  3. Mempelajarai tentang metode atau tekhnik yang digunakan oleh badan kepolisian antara lain police psychology, behavioural science, and investigative psychology.
  4. Bidang psychology and law terutama difokuskan pada proses persidangan hukum dan sikap serta keyakinan partisipannya
B.      Pembunuhan Berantai
Menurut definisi sudut pandang kriminal, pembunuh berantai adalah seseorang yg membunuh satu orang atau lebih dengan rentang waktu tidak membunuh selama 30 hari atau lebih di antaranya. Motivasi pembunuh berantai umumnya murni dari dalam dirinya sendiri, bukan paksaan atau bujukan dari orang lain. Para pembunuh berantai sendiri umumnya adalah orang yg tersingkirkan atau sengaja menarik diri dari lingkungannya. Karena itu, pembunuh berantai sering diidentikkan dengan perilaku antisosial. Akibat menarik diri dari lingkungan, mereka tumbuh menjadi pribadi yg egosentris & tidak punya rasa empati pada orang lain. Pada pembunuh berantai yang menjurus psikopat, ia berpikir bahwa nyawa hewan tak ada bedanya dengan nyawa manusia, sehingga sering menunjukkan sifat tidak menyesal usai membunuh .
Sebagai masyarakat modern, kita dibombardir dengan gambar dan konsep tentang pembunuh berantai. Apakah ada di film, serial televisi, dan terburuk dari semua berita menampilkan pembunuhan berantai. Tak hanya di luar negeri saja maraknya pembunuhan berantai, di indonesia pembunuhan berantai sedang marak-maraknya. Sungguh menabjubkan seseorang dapat membunuh banyak orang tanpa rasa bersalah. Berbagai modus yang diungkap sehingga tersangka melakukan pembunuhan berantai. Uang, cinta hingga rasa sakit hati merupakan salah satu dari sekian banyak modus yang di gunakan tersangka untuk melakukan pembunuhan berantai.
Ciri-ciri Pembunuhan Berantai
Tidak ada daftar ciri yang menggambarkan semua pembunuh berantai.  Tetapi, penelitian telah mengungkap beberapa pola berulang pada pembunuh-pembunuh berantai. Banyak diantara mereka yang menderita cedera otak, yang menggangu proses berpikir rasionalnya. Sebagian besar pernah mengalami penganiayaan fisik, seksual, dan atau psikologis tertentu di masa kanak-kanak , (Hickey, 1997). Malajudsement  (gangguan Penyusaian) selama masa kanak-kanak mereka kadang-kadang diekspresikan dalam bentuk tindakan kejam terhadap binatang. Hampir semuanya adalah pria kulit putih dengan tingkat kecerdasan biasa-biasa saja. Sebagian besar berusaha mendominasi korban sebelum kemudian membunuhnya. Mereka cenderung tidak membunuhnya dengan senjata api dan lebih suka menggunakan metode-metode yang lebih intim seperti mencekik, menikam atau bahkan menyiksa.
Sebelum membunuh mereka seringkali meminum alkohol atau menggunakan obat bius , mungkin untuk mendesensisitasi dirinya sendiridan mengurangi hambatan untuk melaksanakan niatnya (Hickey, 1997). Mereka cenderung memilih korban dengan tipe-tipe tertentu. Misalnya, hanya wanita muda yang berkulit putih pucat .
Pembunuh berantai sering memperlihatkan minat obsesif terhadap pornografi yang mengandung kekerasan dan pembunuhan berantai biasanya merupakan tindak kejahatan yang melibatkan seks.  Fantasi seksual pembunuh mungkin semacam latihan sebelum melakukan tindak kejahatannya.  Banyak pembunuh berantai yang memutar-ulang “rekaman” pembunuhan yang pernah terjadi sebelumnya di dalam pikirannya sebagai stimulasi seksualnya. Sebagian bahkan membuat rekaman video pembunuhannya sehingga ia dapat menontonnya berulang-ulang.  Untuk memenuhi kebutuhan kehidupan fantasinya, sebagian menyimpan tanda mata dari korbannya (misalnya jepit rambutnya) dan mengumpulkan klipping surat kabar yang membuat laporan tindak kejahatannya (Fox dan Levin,1998). Profiler kadang-kadang membedakan antara pembunuh yang terorganisasi dan yang tidak terorganisasi (Ressler,Burgess, dan Douglas, 1988).
Pembunuh yang terorganisasi memilih korbannya dengan cermat dan merancanakan dengan seksama apa yang akan mereka lakukan terhadap korbannya. Mereka menunjukkan kesabaran dan kontrol diri yang tinggi dengan menggunakan kesempatan yang tepat dan membersihkan bukti-bukti setelah selesai membunuh. Mereka juga cenderung menggunakan ritual yang lebih elaboratif , yang melibatkan penyiksaan terhadap korban dan memotong-motong mayatnya. Sebaliknya, pembunuh yang tidak terorganisasi cenderung bersikap impulsif, membunuh akibat amarah yang muncul tiba-tiba atau mengikuti perintah untuk membunuh yang “terdengar” di kepalanya. Pembunuh yang tidak terorganisasi enderung menggunakan senjata apapun yang kebetulan ada di sana, meninggalkan senjatanya di TKP, dan menggunakan mayat korbannya untuk memenuhi tujuan-tujuan seksualnya.

Skema klasifikasi yang lebih teridentifikasi dikemukan oleh Ronald Holmes. Holmes mengelompokkan pembunuh berantai menjadi empat tipe : visioner, berorientasi pada misi tertentu, hedonistik, dan berorientasi pada kekuasaan. Tipe-tipe visioner biasanya psikiotik. Mereka memiliki visi atau keyakinan bahwa mereka mendengar suara Tuhan atau suara arwah yang memerintahkan kepada mereka untuk membunuh orang-orang dengan tipe tertentu. Tipe yang berorientasi pada misi tertentu tidak terlalu psikopatik tetapi dimotivasi oleh keinginan untuk membunuh orang-orang yang mereka anggap jahat atau menjijikan. Tipe hedonistik membunuh untuk mendapatkan sensasi tertentu dan mendapatkan kenikmatan sensual secara sadistis dengan menyiksa korbannya. Tipe keempat yang berorientasi pada kekuasaan mendapatkan kepuasaan dengan menagkap dan mengontrol sebelum membunuh
Proses Profiling
Teknik-teknik criminal profiling (profiling kriminal) dipelopori oleh unit profiling and Behavioral      Assesment (profiling dan Pengukuran Perilaku ) . FBI yang dahulu disebut Behavior Science Unit (Unit Ilmu Perilaku) di Quantico , Virginia.  Hanya sekitar 14 profiler yang bekerja diunit FBI tersebut. Teknik-teknik profiling (yang juga dikenal sebagai retroklasifikasi atau analisis investigasi kriminal) yang digunkan oleh FBI itu pernah diterapkan dengan sangat berhasil dan menjadi terkenal di dalam kasus-kasus yang melibatkan pembunuh berantai. Untuk membangun fondasi profiling , agen-agen FBI mewawancara lebih dari 40 pembunuh berantai yang dipenjara dan memasukkan sifat dan ciri-ciri tindak kejahatan mereka ke dalam basis data komputer. Untuk menyusun sebuah profil, para petugas penyidikan menganalisis TKP, mengumpulkan informasi tentang korban-korbannya, dan menelaah laporan polisi dan laporan hasil otopsi .  informasi-informasi dari sumber-sumber ini digunakan untuk membuat deskirpsi atau “profil”.para profiler yang pernah bekerja di FBI menekankan tentang tentang pentingnya “aspek signature” dari tindak kejahatan yang dimaksud. Aspek “Signature” adalah aspek pribadi dan khas dari tindak kejahatan tersebut yang diduga dapat mengungkapkan kepribadian si pembunuh.
C.      Otopsi Psikologi
Pendekatan otopsi  psikologi masih relatif baru dalam lingkup pemanfaatan psikologi sebab metode ini belum banyak dikenal  dalam membantu proses pemecahan kasus kriminal. Dikatakan relatif baru dalam pengertian bahwa sejauh ini belum ada perhatian secara serius dalam psikologi sebagai bidang keilmuan. Di samping itu, belum banyak pengguna yang mengetahui bahwa pendekatan ini dapat dimanfaatkan dalam membantu proses pengungkapan kasus spesifik bagi lingkungan penegak hukum yang secara langsung bersentuhan dengan dunia kriminal.
Pengertian otopsi psikologi, mengacu pada pengertian umum mengenai proses otopsi medis yang terkait dengan proses bedah mayat untuk mengetahui sebab-sebab kematian seseorang secara fisiologis (medis). Dalam pengertian yang spesifik, otopsi psikologi atau dikenal dengan sebutan retrospective death assesment, evaluasi rekonstruktif maupun analisis kematian equivocal (Katherine Ramsland,2006) pada dasarnya merupakan satu  upaya untuk melakukan identifikasi sebab-sebab kematian seseorang yang dianggap masih kabur/tidak jelas penyebabnya.lebih jauh, Ramsland menyebut otopsi psikologi sebagai  metode tertentu yang dipergunakan untuk meneliti secara cermat riwayat perjalanan kehidupan seseorang sebelum kematiannya.
Dalam kondisi faktor penyebab kematian tidak jelas , proses otopsi  medis sangat diperlukan. Sekalipun demikian, boleh jadi setelah dilakukan proses otopsi medis sekalipun, faktor penyebab kematian tetap menjadi misteri . sebagai contoh, seseorang yang dinyatakan meninggal dunia (secara medis) karena luka benturan benda tumpul di kepala dapat saja disebabkan orang itu dianiaya dengan benda tumpul dikepala, tanpa sengaja kepalanya terbentur benda tumpul, atau korban sengaja membenturkan kepalanya pada benda tumpul. Tentu saja, dalam kasus khusus seperti ini, otopsi medis dapat saja dibantu dengan proses otopsi psikologis maupun analisis forensik lainnya. Gagasan dasar dari proses otopsi psikologi adalah mengungkap kondisi mental kepribadian dan kondisi pemikiran (state of mind)  korban sebelum kematiannya, khususnya pada kasus-kasus adanya dugaan bunuh diri.
Mengacu pada pengertian tersebut proses otopsi psikologi tidak sama dengan proses otopsi medis, yaitu tidak melakukan proses pembedahan secara fisik tetapi pembedahan terhadap riwayat pada perjalanan hidup korban sampai saat-saat akhir kematiannya. Kegiatannya yang dilaksanakan dalam proses otopsi psikologi dilakukan melalui penelitian, pengungkapan data-data, dan riwayat hidup korban melalui wawancara terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan dengan korban.
Secara spesifik dan lebih terperinci, Sherry Russel (2004) menyatakan bahwa beberapa data yang diperlukan dalam proses otopsi psikologi adalah sebagai berikut :
a.       Informasi pribadi (personal information)
b.      Riwayat status kesehatan mental/kejiwaan
c.       Riwayat keluarga (family history)
d.      Visum edrepartum (VER) kematian korban
e.      Riwayat kematian dalam keluarga
f.        Riwayat kesehatan medis (medical record)
g.       Riwayat adanya kondisi stress/depresi setidaknya dalam 1 tahun terakhir
h.      Laporan polisi/laporan kemajuan penyelidikan
i.         Reaksi keluarga/teman terhadap kabar kematian
j.        Bukti adanya tulisan yang ditinggalkan (bila ada)
k.       Riwayat penggunaan alkohol dan obat-obatan tertentu (drugs)
l.         Barang bukti yang didapatkan yang di TKP
m.    Riwayat sikap dan perilaku emosional, stress dan ketakutan tertentu
n.      Perubahan kebiasaan, sikap dan perilaku, hoby, pasangan seksual, dan kehidupan rutin
Theodore H. Blau (1994) menambahkan bahwa dalam proses wawancara terhadap keluarga /teman/tetangga korban, beberapa hal yang harus didalami adalah sebagai berikut :
a.       Bukti-bukti adanya kondisi psikologis yang menyakitkan (psychological pain)
b.      Bukti-bukti adanya kondisi frustasi
c.       Adanya ancaman tertentu dari orang lain
d.      Bukti adanya perencanaan tertentu misalnya rencana bunuh diri
e.      Bukti adanya rasa ketidakberdayaan/tanpa harapan
f.        Kondisi ambivalensi (kebingungan/depresi)
g.       Kondisi pemikiran/ide yang menghantui
h.      Adanya upaya-upaya untuk melakukan upaya bunuh diri sebelumnya
Setelah data-data tersebut diperoleh melalui proses wawancara dan penelitian yang mendalam, selanjutnya dilakukan analisis untuk mencermati faktor-faktor dominan yang diperkirakan sebagai faktor penyebab kematian. Fakta-fakta mengenai kondisi mental psikologis, kondisi stress, depresi, frustasi, ketidakberdayaan dan sebagainya merupakan fakta yang harus dianalisis secara psikologis, khususnya dikaitkan dengan kemungkinan kondisi tersebut mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Bilamana bukti-bukti psikologis tersebut tidak ditemukan dari korban, analisis dapat difokuskan pada fakta-fakta keberadaan orang lain,ancaman, atau kondisi lain yang diperkirakan memungkinkan orang tersebut menjadi korban pembunuhan atau korban kecelakaan. Meskipun dalam kenyataan secara psikologis, korban kecelakaan dan korban bunuh diri sering sulit untuk dibedakan, sangat dimungkinkan sebuah kejadian kecelakaan yang sepintas seolah-olah merupakan kelalaian yang menyebabkan meninggalnya korban, sebenarnya merupakan upaya bunuh diri secara tersamar.

Hasil dari proses otopsi psikologis, seperti yang telah ditegaskan oleh Blau (1994) mengarah pada kesimpulan berupa skenario yang paling mendekati dari kematian korban. Kesimpulan ini secara spesifik memuat kemungkinan kejadian secara kronologis (Kronilogical story) yang menjelaskan proses kematian korban serta kemungkinan faktor penyebabnya




















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Fisikologi forensik merupkan  bagian dari ilmu psikologi yang berkaitan dengan hukum.
2.      Pembunuh berantai adalah seseorang yg membunuh satu orang atau lebih dengan rentang waktu tidak membunuh selama 30 hari atau lebih di antaranya, dan motivasi pembunuh berantai umumnya murni dari dalam dirinya sendiri, bukan paksaan atau bujukan dari orang lain dan umumnya adalah orang yang tersingkirkan atau sengaja menarik diri dari lingkungannya.
3.       Otopsi psikologi atau dikenal dengan sebutan retrospective death assesment merupakan evaluasi rekonstruktif maupun analisis kematian equivocal,  pada dasarnya merupakan satu  upaya untuk melakukan identifikasi sebab-sebab kematian seseorang yang dianggap masih kabur/tidak jelas penyebabnya dan merupakan  metode tertentu yang dipergunakan untuk meneliti secara cermat riwayat perjalanan kehidupan seseorang sebelum kematiannya.










DAFTAR PUSTAKA

Constanzo Mark (2008). Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Akhdiat Hendra dan Marliani Rosleni (2011).Psikologi Hukum. Bandung : Pustaka Setia

1 komentar:

  1. Ah es doger exotic lu! ga pernah becus! mampus aja lu!

    BalasHapus