Fobia adalah merupakan salah satu bagian dari gangguan Anxietas
(perasaan cemas yang dialami secara subjektif). Fobia adalah ketakutan dan
penolakan terhadap objek atau situasi yang tidak mengandung bahaya yang
sesungguhnya.
Kriteria
DSM-IV untuk Fobia
- · Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipicu oleh objek atau situasi
- · Keterpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens
- · Orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya tidak realistis
- · Objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan intens
Istilah fobia biasanya berarti bahwa seseorang mengalami distress yang
parah dan hendaya sosial atau pekerjaan karena kecemasan tersebut. Kata fobia
diambil dari nama dewa Yunani Phobos, yang takut kepada musuh-musuhnya. Ada dua
jenis tipe fobia yaitu : fobia spesifik dan fobia sosial.
Fobia
Spesifik
Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh
kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. DSM-IV-TR membagi fobia berdasarkan sumber
ketakutannya: darah, cedera, dan penyuntikan. situasi (a.l., pesawat
terbang, lift, ruang tertutup), binatang
dan lingkungan alami (a.l., ketinggian, air). Fobia tersebut biasanya saling
menyertai (komordid) (Kendler dkk., 2001).
Hal yang ditakuti pada fobia juga dapat bervariasi dalam berbagai
budaya. Sebagai contoh di Cina, Pa-leng adalah ketakutan pada dingin di mana
seseorang mengalami kekhawatiran bahwa hilangnya panas tubuh dapat menyebabkan
nyawa terancam. Contoh lain adalah suatu sindrom yang dialami di Jepang yang
disebut taijin-kyofu-so, ketakutan pada orang lain(ini bukanlah fobia sosial),
namun merupakan ketkutan ekstrem untuk memepermalukan orang lain.
Fobia
Sosial
Fobia sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya
berkaitan dengan keberadaan orang lain.fobia ini sangat merusak,, sedemikian
parah sehingga angka bunuh diri pada orang-orang yang menderita fobia ini jauh
lebih tinggi dibanding pada mereka yang menderita gangguan anxietas lain
(Schneier dkk, 1992).
Etiologi
Fobia
Teori
Psikoanalis, Freud adalah orang pertama yang mencoba
menjelasakan secara sistematis perkembangan perilaku fobik. Menurut Freud fobia
merupakan penahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id
yang ditekan.
Teori
Behavioral, teori behavioral berfokus pada
pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia. Beberapa tipe pembelajaran
mungkin berperan.
Avoidance Conditioning,
penjelasan utama behavioral tentang fobia adalah reaksi semacam itu merupakan
respon avoidance yang dipelajari.
Formulasi dari avoidance
conditioning dilandasi oleh teori dua faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947)
dan menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang
saling berkaitan.
1. Melalui clasisical conditioning
seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral (CS) jika
stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik menyakitkan
atau menakutkan (UCS).
2. Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan
tersebut dengan melarikan diri atau menghindari CS. Jenis pembelajaran yang
kedua ini diasumsikan sebagai operant
conditioning; respon diperthankan oleh konsekuensi mengurangi ketakutan
yang menguatkan.
Modelling, selain belajar
untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat pengalaman yang tidak menyenangkan
dengannya, ketakutan dapat dipelajari dengan meniru reaksi orang lain. Dengan
demikian, beberapa fobia dapat terjadi melalui modelling, bukan melalui pengalaman yang tidak
menyenangkan terhadap objek atau situasi yang ditakuti.
Pembelajaran yang Dipersiapkan
(prepared learning), isu lain yang
tidak dibahas dalam model pembelajaran avoidance adalah bahwa orang-orang
cenderung hanya takut pada objek atau situasi tertentu, seperti laba-laba,
ular, dan ketinggian, namun tidak pada objek lain, seperti domba (Marks, 1969).
Fakta bahwa stimulus tertentu yang netral, disebut stimuli yang dipersiapkan,
lebih mungkin dibanding stimuli lain untuk menjadi stimuli yang dikondisikan
secara klasik yang mungkin berperan terhadap kecenderungan ini. Prepared
learning juga relevan dengan mempelajari ketakutan melalui modeling.
Diperlukan Diathesis,
pertanyaan terakhir untuk dibahas adalah mengapa beberapa orang memiliki
pengalaman traumatis tidak mengalami ketakutan yang menetap. Sebagai contoh, 50
persen di antara orang-orang yang sangat ketakutan terhadap anjing menuturkan
pengalaman traumatis yang pernah mereka alami dengan anjing, begitu juga dengan
50 persen di antara orang-orang yang tidak takut anjing (DiNardo dkk., 1988).
Perbedaan di antara dua kelompok tersebut adalah kelompok fobik berfoukus pada
dan menjadi cemas terhadap kemungkinan munculnya kejadian traumatis yang sama
pada masa mendatang. Dengan demikian, suatu diathesis kognitif-menyakini bahwa
kejadian traumatis yang sama akan terjadi pada masa mendatang-mungkin merupakan
hal penting dalam terbentuknya fobia. Kemungkinan diathesis psikologis lain
adalah adanya riwayat yang menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan lingkungan
(Mineka & Zinbarg, 1996). Secara ringkas, data yang telah kita kaji
menunjukkan bahwa beberapa fobia mungkin dipelajari melalui avoidance conditioning. Namun, avoidance conditioning tidak dapat
dianggap sebagai teori yang sepenuhnya dapat dibenarkan. Contohnya banyak orang
yang menderita fobia menuturkan bahwa mereka tidak pernah terpapar langsung
dengan kejadian traumatis atau dengan model yang menakutkan (Merckelbach dkk.,
1989).
Penelitian
Faktor-faktor biologis yang mempengaruhi
fobia yang menyebabkan dan membuat fobia menetap yang tampaknya menjanjikan
adalah sebagai berikut :
·
Sistem Saraf Otonom, orang-orang yang
mengalami fobia sosial seringkali merasa takut bahwa wajah mereka akan memerah
atau berkeringat secara berlebihan di depan umum. Karena berkeringat dan
memerahnya wajah dikendalikan oleh sistem saraf otonom, aktivitas saraf otonom
yang berlebihan kemungkinan merupakan suatu diathesis.
·
Faktor Genetik, beberapa studi
telah menguji apakah faktor genetik berperan dalam fobia. Fobia darah dan
penyuntikan sangat familial; 64 persen pasien fobia darah dan penyuntikan
memiliki sekurang-kurangnya satu kerabat tingkat pertama yang menderita
gangguan yang sama, sedangkan prevalensi ganguuan dalam populasi umum hanya 3
sampai 4 persen(Ost, 1992). Sama dengan itu, baik untuk fobia sosial maupun
maupun fobia spesifik, prevalensi lebih tinggi dibanding rata-rata pada
keluarga tingkat pertama pasien, dan studi terhadap orang kembar menunjukkan
kesesuaian yang lebih tinggi pada kembar MZ dibanding kembar DZ (Hettema, M.
Neale & Kendler, 2001).
Terapi
Fobia
Pendekatan
Psikoanalis, secara umum semua
penanganan psikoanalis terhadap fobia berupaya mengungkap konflik-konflik yang
ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan ekstrem dan karakteristik
penghindaran dalam gangguan ini. Karena fobia dianggap sebagai simtom dari
konflik-konflik yang dibaliknya, fobia biasanya tidak secara langsung
ditangani. Dalam berbagai kombinasi analis menggunakan berbagai teknik yang
dikembangkan dalam tradisi psikoanalais untuk membantu mengangkat represi.
Dalam asosiasi bebas analis mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disebutkan
pasien terkait dengan setiap rujukan mengenai fobia. Seorang analis ortodoks
akan mencari konflik-konflikyang berkaitan dengan seks atau agresi, sedangkan
analis yang menganut teori interpersonal dari Arieti akan mendorong pasien
untuk mempelajari generalisasi ketakutannya terhadap orang lain. Analis ego
kontemporer kurang memfokuskan pada riwayat insight dan lebih fokus untuk
mendorong pasien untuk menghadapi fobia. Walaupun demikian, mereka juga
menganggap fobia sebagai akibat dari masalah yang terjadi pada masa lalu.
Watchel (1977) bahkan lebih tegas merekomendasikan para analis untuk
menggunakan teknik-teknik reduksi rasa takut yang digunakan para terapis
perilaku, seperti desensitisasi sistematik.
Pendekatan
Behavioral, desensitisasi sistematik merupakan terapi
behavioral utama yang pertama kali digunakan secara luas untuk menangani fobia
(Wolpe, 1958). Individu yang menderita fobia membayangkan serangkaian situasi
yang semakin menakutkan sementara berada dalam kondisi relaksasi yang mendalam.
Selain itu, banyak terapis perilaku yang telah menyadari pentingnya pemaparan
dengan situasi fobik dalam dalam kehidupan nyata, kadangkala selama periode di
mana pasien didesentisasi dalam imajinasi dan kadangkala sebagai pengganti
prosedur berbasis pencitraan(Craske, Rapee, & Barlow, 1992). Flooding adalah teknik terapeutik di
mana klien dipaparkan dengan sumber fobia dalam intensitas penuh. Rasa tidak
nyaman ekstrem menjadi bagian tak terhindarkan dalam prosedur ini sehingga
belum lama ini cenderung menahan terapis untuk menggunakan teknik ini, kecuali
mungkin sebagai jalan terakhir bila pemaparan secara bertingkat tidak
membuahkan hasil. Mempelajari keterampilan sosial dapat membantu penderita
fobia sosial yang tidak mengetahui apa yang harus diucapkan atau dilakukan
dalam berbagai situasi sosial. Beberapa terapis behavioral mendorong pasien
untuk berlatih peran atau melatih pertemuan interpersonal di dalam ruang
konsultasi atau kelompok terapi kecil (Heimberg & Juster, 1994; Heimberg
dkk., 1993; Marks,1995; Mattick & Andrews, 1994). Modeling merupakan teknik
lain yang menggunakan pemaparan terhadap berbagai situasi yang ditakuti. Dalam
terapi modeling, klien yang ketakutan melihat orang lain yang berinteraksi
dengan objek melalui film atau secara langsung fobik tanpa rasa takut.
Pendekatan
Kognitif, terapi kognitif bagi fobia spesifik
dpandang dengan skeptis karena karakteristik utama penentu fobia: rasa takut
fobik diakui oleh penderitanya sebagai rasa takut yang berlebihan dan tidak
beralasan. Jikan penderita mengakui bahwa ia mengalami ketakutan pada sesuatu
yang tidak berbahaya, apa yang dapat dilakukan terapi tersebut untuk mengubah
pikiran si penderita ? memang, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hanya
dengan dengan menghapuskan keyakinan irasional tanpa pemaparan dengan situasi
yang ditakuti akan mengurangi penghindaran fobik. (Turner dkk., 1992; Williams
dan Rappoport, 1983). Secara kontras, berkaitan dengan fobia sosial metode
kognitif semacam itu-kadangkala dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan
sosial-lebh menjanjikan. Semua terapi behavioral dan kognitif vagi fobia
memiliki tema yang berulang. Sebutlah, pasien perlu mulai menghadapi sesuatu
yang diyakini terlalu menakutkan, terlalu menegerikan untuk dihadapi. Walaupun
para psikoanalis percaya bahwa rasa takut berasal dari masa lalu yang terpendam
sehingga menunda konfrontasilangsung, pada akhirnya mereka juga mendorong
pasien untuk menghadapinya (a.,l. Zane, 1984).
Pendekatan
Biologis, obat-obatan yang mengurangi kecemasan
disebut sebagai sedatif, tranquilizer, atau anxiolytic (akhiran lityc berasal
dari bahasa Yunani yang berarti “melonggarkan atau melelehkan”). Barbiturate
adalah kategori obat-obatan utama yang pertama kali digunakan untuk menangani
gangguan anxietas, namun karena kategori obat-obatan tersebut menyebabkan
ketergantungan yang tinggi dan beresiko mematikan bila overdosis, pada tahun
1950 obat-obatan tersebut diganti dengan dua kelompok obat-obatan lain,
propanediol (a.l., Miltown) dan benzodiazepine (a.l., Valium dan Xanax). Jenis
yang kedua dewasa ini digunakan secara luas. Dalam tahun-tahun terakhir,
obat-obatan yang pada awalnya dikembangkan untuk menangani depresi (anti
depresan) menjadi popular untuk menangani banyak gangguan anxietas, termasuk
fobia. Salah satu kelompok obat-obatan tersebut, penghambat monoamine oxidase
(MAO), menunjukkan hasil yang lebih baik dalam satu studi untuk menangani fobia
sosial dibanding benzodiazepine (Gelernter dkk., 1991), dan dalam studi lain
sama efektifnya dengan terapi perilaku kognitifdalam pengamatan setelah terapi
selama 12 minggu (Heimberg dkk., 1998). Namun penghambat MAO, seperti
phenelzine (Nardil), dapat menyebabkan peningkatan berat badan, insomia,
disfungsi seksual, dan hypertensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar