Pages

Sabtu, 26 September 2015

GANGGUAN FOBIA




Fobia adalah merupakan salah satu bagian dari gangguan Anxietas (perasaan cemas yang dialami secara subjektif). Fobia adalah ketakutan dan penolakan terhadap objek atau situasi yang tidak mengandung bahaya yang sesungguhnya.
Kriteria DSM-IV untuk Fobia
  • ·         Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipicu oleh objek atau situasi
  • ·         Keterpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens
  • ·         Orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya tidak realistis
  • ·         Objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan intens

Istilah fobia biasanya berarti bahwa seseorang mengalami distress yang parah dan hendaya sosial atau pekerjaan karena kecemasan tersebut. Kata fobia diambil dari nama dewa Yunani Phobos, yang takut kepada musuh-musuhnya. Ada dua jenis tipe fobia yaitu : fobia spesifik dan fobia sosial.
Fobia Spesifik
Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik.  DSM-IV-TR membagi fobia berdasarkan sumber ketakutannya: darah, cedera, dan penyuntikan. situasi (a.l., pesawat terbang,  lift, ruang tertutup), binatang dan lingkungan alami (a.l., ketinggian, air). Fobia tersebut biasanya saling menyertai (komordid) (Kendler dkk., 2001).
Hal yang ditakuti pada fobia juga dapat bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai contoh di Cina, Pa-leng adalah ketakutan pada dingin di mana seseorang mengalami kekhawatiran bahwa hilangnya panas tubuh dapat menyebabkan nyawa terancam. Contoh lain adalah suatu sindrom yang dialami di Jepang yang disebut taijin-kyofu-so, ketakutan pada orang lain(ini bukanlah fobia sosial), namun merupakan ketkutan ekstrem untuk memepermalukan orang lain.
Fobia Sosial
Fobia sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain.fobia ini sangat merusak,, sedemikian parah sehingga angka bunuh diri pada orang-orang yang menderita fobia ini jauh lebih tinggi dibanding pada mereka yang menderita gangguan anxietas lain (Schneier dkk, 1992).

Etiologi Fobia
Teori Psikoanalis,  Freud adalah orang pertama yang mencoba menjelasakan secara sistematis perkembangan perilaku fobik. Menurut Freud fobia merupakan penahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan.
Teori Behavioral, teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia. Beberapa tipe pembelajaran mungkin berperan.
Avoidance Conditioning, penjelasan utama behavioral tentang fobia adalah reaksi semacam itu merupakan respon avoidance yang dipelajari.  Formulasi dari avoidance conditioning dilandasi oleh teori dua faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan.
1.       Melalui clasisical conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral (CS) jika stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik menyakitkan atau menakutkan (UCS).
2.       Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan melarikan diri atau menghindari CS. Jenis pembelajaran yang kedua ini diasumsikan sebagai operant conditioning; respon diperthankan oleh konsekuensi mengurangi ketakutan yang menguatkan.
Modelling, selain belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat pengalaman yang tidak menyenangkan dengannya, ketakutan dapat dipelajari dengan meniru reaksi orang lain. Dengan demikian, beberapa fobia dapat terjadi melalui modelling,  bukan melalui pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap objek atau situasi yang ditakuti.
Pembelajaran yang  Dipersiapkan (prepared learning), isu lain yang tidak dibahas dalam model pembelajaran avoidance adalah bahwa orang-orang cenderung hanya takut pada objek atau situasi tertentu, seperti laba-laba, ular, dan ketinggian, namun tidak pada objek lain, seperti domba (Marks, 1969). Fakta bahwa stimulus tertentu yang netral, disebut stimuli yang dipersiapkan, lebih mungkin dibanding stimuli lain untuk menjadi stimuli yang dikondisikan secara klasik yang mungkin berperan terhadap kecenderungan ini. Prepared learning juga relevan dengan mempelajari ketakutan melalui modeling.
Diperlukan Diathesis, pertanyaan terakhir untuk dibahas adalah mengapa beberapa orang memiliki pengalaman traumatis tidak mengalami ketakutan yang menetap. Sebagai contoh, 50 persen di antara orang-orang yang sangat ketakutan terhadap anjing menuturkan pengalaman traumatis yang pernah mereka alami dengan anjing, begitu juga dengan 50 persen di antara orang-orang yang tidak takut anjing (DiNardo dkk., 1988). Perbedaan di antara dua kelompok tersebut adalah kelompok fobik berfoukus pada dan menjadi cemas terhadap kemungkinan munculnya kejadian traumatis yang sama pada masa mendatang. Dengan demikian, suatu diathesis kognitif-menyakini bahwa kejadian traumatis yang sama akan terjadi pada masa mendatang-mungkin merupakan hal penting dalam terbentuknya fobia. Kemungkinan diathesis psikologis lain adalah adanya riwayat yang menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan lingkungan (Mineka & Zinbarg, 1996). Secara ringkas, data yang telah kita kaji menunjukkan bahwa beberapa fobia mungkin dipelajari melalui avoidance conditioning. Namun, avoidance conditioning tidak dapat dianggap sebagai teori yang sepenuhnya dapat dibenarkan. Contohnya banyak orang yang menderita fobia menuturkan bahwa mereka tidak pernah terpapar langsung dengan kejadian traumatis atau dengan model yang menakutkan (Merckelbach dkk., 1989).
Penelitian Faktor-faktor  biologis yang mempengaruhi fobia yang menyebabkan dan membuat fobia menetap yang tampaknya menjanjikan adalah sebagai berikut :
·         Sistem Saraf Otonom, orang-orang yang mengalami fobia sosial seringkali merasa takut bahwa wajah mereka akan memerah atau berkeringat secara berlebihan di depan umum. Karena berkeringat dan memerahnya wajah dikendalikan oleh sistem saraf otonom, aktivitas saraf otonom yang berlebihan kemungkinan merupakan suatu diathesis.
·         Faktor Genetik, beberapa studi telah menguji apakah faktor genetik berperan dalam fobia. Fobia darah dan penyuntikan sangat familial; 64 persen pasien fobia darah dan penyuntikan memiliki sekurang-kurangnya satu kerabat tingkat pertama yang menderita gangguan yang sama, sedangkan prevalensi ganguuan dalam populasi umum hanya 3 sampai 4 persen(Ost, 1992). Sama dengan itu, baik untuk fobia sosial maupun maupun fobia spesifik, prevalensi lebih tinggi dibanding rata-rata pada keluarga tingkat pertama pasien, dan studi terhadap orang kembar menunjukkan kesesuaian yang lebih tinggi pada kembar MZ dibanding kembar DZ (Hettema, M. Neale & Kendler, 2001).
 
Terapi Fobia
Pendekatan Psikoanalis, secara umum semua penanganan psikoanalis terhadap fobia berupaya mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan ekstrem dan karakteristik penghindaran dalam gangguan ini. Karena fobia dianggap sebagai simtom dari konflik-konflik yang dibaliknya, fobia biasanya tidak secara langsung ditangani. Dalam berbagai kombinasi analis menggunakan berbagai teknik yang dikembangkan dalam tradisi psikoanalais untuk membantu mengangkat represi. Dalam asosiasi bebas analis mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disebutkan pasien terkait dengan setiap rujukan mengenai fobia. Seorang analis ortodoks akan mencari konflik-konflikyang berkaitan dengan seks atau agresi, sedangkan analis yang menganut teori interpersonal dari Arieti akan mendorong pasien untuk mempelajari generalisasi ketakutannya terhadap orang lain. Analis ego kontemporer kurang memfokuskan pada riwayat insight dan lebih fokus untuk mendorong pasien untuk menghadapi fobia. Walaupun demikian, mereka juga menganggap fobia sebagai akibat dari masalah yang terjadi pada masa lalu. Watchel (1977) bahkan lebih tegas merekomendasikan para analis untuk menggunakan teknik-teknik reduksi rasa takut yang digunakan para terapis perilaku, seperti desensitisasi sistematik.
Pendekatan Behavioral,  desensitisasi sistematik merupakan terapi behavioral utama yang pertama kali digunakan secara luas untuk menangani fobia (Wolpe, 1958). Individu yang menderita fobia membayangkan serangkaian situasi yang semakin menakutkan sementara berada dalam kondisi relaksasi yang mendalam. Selain itu, banyak terapis perilaku yang telah menyadari pentingnya pemaparan dengan situasi fobik dalam dalam kehidupan nyata, kadangkala selama periode di mana pasien didesentisasi dalam imajinasi dan kadangkala sebagai pengganti prosedur berbasis pencitraan(Craske, Rapee, & Barlow, 1992). Flooding adalah teknik terapeutik di mana klien dipaparkan dengan sumber fobia dalam intensitas penuh. Rasa tidak nyaman ekstrem menjadi bagian tak terhindarkan dalam prosedur ini sehingga belum lama ini cenderung menahan terapis untuk menggunakan teknik ini, kecuali mungkin sebagai jalan terakhir bila pemaparan secara bertingkat tidak membuahkan hasil. Mempelajari keterampilan sosial dapat membantu penderita fobia sosial yang tidak mengetahui apa yang harus diucapkan atau dilakukan dalam berbagai situasi sosial. Beberapa terapis behavioral mendorong pasien untuk berlatih peran atau melatih pertemuan interpersonal di dalam ruang konsultasi atau kelompok terapi kecil (Heimberg & Juster, 1994; Heimberg dkk., 1993; Marks,1995; Mattick & Andrews, 1994). Modeling merupakan teknik lain yang menggunakan pemaparan terhadap berbagai situasi yang ditakuti. Dalam terapi modeling, klien yang ketakutan melihat orang lain yang berinteraksi dengan objek melalui film atau secara langsung fobik tanpa rasa takut.
Pendekatan Kognitif, terapi kognitif bagi fobia spesifik dpandang dengan skeptis karena karakteristik utama penentu fobia: rasa takut fobik diakui oleh penderitanya sebagai rasa takut yang berlebihan dan tidak beralasan. Jikan penderita mengakui bahwa ia mengalami ketakutan pada sesuatu yang tidak berbahaya, apa yang dapat dilakukan terapi tersebut untuk mengubah pikiran si penderita ? memang, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hanya dengan dengan menghapuskan keyakinan irasional tanpa pemaparan dengan situasi yang ditakuti akan mengurangi penghindaran fobik. (Turner dkk., 1992; Williams dan Rappoport, 1983). Secara kontras, berkaitan dengan fobia sosial metode kognitif semacam itu-kadangkala dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan sosial-lebh menjanjikan. Semua terapi behavioral dan kognitif vagi fobia memiliki tema yang berulang. Sebutlah, pasien perlu mulai menghadapi sesuatu yang diyakini terlalu menakutkan, terlalu menegerikan untuk dihadapi. Walaupun para psikoanalis percaya bahwa rasa takut berasal dari masa lalu yang terpendam sehingga menunda konfrontasilangsung, pada akhirnya mereka juga mendorong pasien untuk menghadapinya (a.,l. Zane, 1984).
Pendekatan Biologis, obat-obatan yang mengurangi kecemasan disebut sebagai sedatif, tranquilizer, atau anxiolytic (akhiran lityc berasal dari bahasa Yunani yang berarti “melonggarkan atau melelehkan”). Barbiturate adalah kategori obat-obatan utama yang pertama kali digunakan untuk menangani gangguan anxietas, namun karena kategori obat-obatan tersebut menyebabkan ketergantungan yang tinggi dan beresiko mematikan bila overdosis, pada tahun 1950 obat-obatan tersebut diganti dengan dua kelompok obat-obatan lain, propanediol (a.l., Miltown) dan benzodiazepine (a.l., Valium dan Xanax). Jenis yang kedua dewasa ini digunakan secara luas. Dalam tahun-tahun terakhir, obat-obatan yang pada awalnya dikembangkan untuk menangani depresi (anti depresan) menjadi popular untuk menangani banyak gangguan anxietas, termasuk fobia. Salah satu kelompok obat-obatan tersebut, penghambat monoamine oxidase (MAO), menunjukkan hasil yang lebih baik dalam satu studi untuk menangani fobia sosial dibanding benzodiazepine (Gelernter dkk., 1991), dan dalam studi lain sama efektifnya dengan terapi perilaku kognitifdalam pengamatan setelah terapi selama 12 minggu (Heimberg dkk., 1998). Namun penghambat MAO, seperti phenelzine (Nardil), dapat menyebabkan peningkatan berat badan, insomia, disfungsi seksual, dan hypertensi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar