Dalam gangguan
panik seseorang mengalami serangan mendadak dan seringkali tidak dapat
dijelaskan dalam bentuk serangkaian simtom yang tidak mengenakkan-kesulitan
bernapas, jantung berdebar, mual, nyeri dada, merasa seperti tersedak, dan tercekik,
pusing, berkeringat, dan gemetar; serta kecemasan yang sangat dalam, teror dan
merasa seolah akan mati. Depersonalisasi, perasaan seolah berada di luartubuh,
dan derealisasi, suatu perasaan bahwa dunia tidak nyata, juga ketakutan
kehilangan kendali, menjadi gila, atau bahkan mati dapat memenuhi dan menguasai
pasien. Serangan panik dapat sering terjadi, mungkin sekali dalam seminggu atau
lebih sering lagi; biasanya berlangsung selama beberapa menit, jarang dalam
hitungan jam; dan kadangkala berkaiatan dengan situasi spesifik, seperti
menegendarai mobil. Jika sangat terkait dengan pemicu situasional, disebut
serangan panik berisyarat (cued panic attacks). Jika terdapat hubungan antara
stimulus dengan serangan namun tidak sangat kuat, serangan disebut sebagai
serangan yang dipicu secara situasional. Serangan panik juga dapat terjadi
dalam kondisi yang tampaknya tenang, seperti relaksasi, dalam tidur, dan dalam
situasi yang tidak terduga; dalam kasus-kasus ini disebut sebagai serangan
tanpa isyarat (incued attacks). Serangan tanpa isyarat yang berulang dan
khawatir mengalami serangan pada masa mendatang merupakan prasyarat diagnosis
gangguan panik., namun serangan panik sendiri cukup banyak terjadi-antara 3
hingga 5 persen dalama populasi umum setiap tahunnya-pada orang-orang yang
tidak memenuhi kriteria gangguan panik (Norton, Cox, & Malan, 1992).
Terjadinya serangan berisyarat saja kemungkinan besar menanadakan adanya fobia.
Dalam DSM-IV-TR
gangguan panik didiagnosis dengan atau tanpa agorafobia. Agorafobia (dari
bahasa Yunani agora, yang berarti “daerah pasar”). Adalah sekumpulan rasa takut
pada tempat-tempat umum dan ketidakmampuan melarikan diri atau mendapatkan
pertolongan bila menjadi lemah oleh kecemasan. Banyak pasien yang menderita
agorafobia tidak mampu keluar rumah atau melakukannya dengan penderitaan yang
sangat. para pasien yang mederita gangguan panik umumnya menghindari situasi di
mana serangan panik dapat berbahaya atau memalukan. Jika penghindaran tersebut
meluas, hasilnya adalah panik dengan agorafobia. (Jika agorafobia muncul tanpa
gangguan panik yang dapat didiagnosis , umumnya orang tersebut mengalami
simtom-simtom panik, namun bukan serangan penuh. Dengan demikian, dalam kedua
kasus agorafobia berkaiatan dengan ketakutan mengalami serangan). Gangguan
panik dengan agorafobia atau agorafobia tanpa riwayat gangguan panik lebih
banyak terjadi pada perempuan dibanding pada laki-laki.
Kriteria DSM-IV-TR
untuk Gangguan Panik
- Serangan panik yang berulang tanpa terduga
- Sekurang-kurangnya selama satu bulan terdapat kekhawatiran akan terjadinya serangan berikutnya atau kekhawatiran atas konsekuensi yang diterima ketika serangan terjadi, atau perubahan perilaku karena serangan yang dialami
Etiologi Gangguan Panik
Dua teori yaitu biologis dan psikologis
telah digunakan untuk menjelaskan gangguan panik.
Teori Biologis, dalam
beberapa kasus, sensasi fisik yang disebabkan oleh suatu contoh penyakit memicu
beberapa orang mengalami gangguan panik. Gangguan panik diturunkan dalam
keluarga dan memilki kesesuaian yang lebih besar pada kembar MZ (kembar
identik) dibanding pada kembar DZ (kembar dua telur). Dengan demikian, suatu
diathesis genetik mungkin berpengaruh (Hettema, Neale, & Kendler, 2001).
Aktivitas Noradrenergik,
teori biologi lain menyatakan bahwa panik disebabkan oleh aktivitas yang
berlebihan dalam sistem noradrenergik (neuron yang menggunakan norefinefrin
sebagai neurotransmiter). Salah satu versi teori ini memfokuskan pada nukleas
dalam pons yang disebut locus cereleus.
Menciptakan serangan panik secara
eksperimen, penelitian biologi lain memfokuskan pada manipulasi
eksperimental yangdapat menimbulkan serangan panik. Salah satu pendekatan
berpendapat bahwa serangan panik berhubungan dengan hiperventilasi atau
pernapasan yang berlebihan (Ley, 1987). Hiperventilasi dpat mengaktivasi sitem
saraf otonom, sekaligus memicu aspek-aspek somatik yang tidak asing dalam suatu
episode panik. Data yang mengindikasikan bahwa beragam faktor biologis (a.l,. karbon dioksida, hiperventilasi) dapat
menyebabkan serangan panik juga menunjukkan bahwa hal itu dapat terjadi hanya
pada orang-orang yang telah didiagnosis menderita gangguan tersebut atau pada mereka yang memilki ketakutan besar
terhadap sensasi tubuh mereka sendiri (Zinbarg dkk., 2001).
Teori Psikologis, teori
psikologis utama mengenai agorafobia yang sering menyertai gangguan panik
adalah hipotesis ketakutan-terhadap-ketakutan (a.l,. Goldstein & Chambless,
1978), yang berpendapat bahwa agorafobia bukanlah ketakutan terhadap
tempat-tempat umum itu sendiri, melainkan ketakutan mengalami serangan panik di
tempat umum.
Classical conditioning dan perbedaan
antara kecemasan dan panik menjadi dasar satu teori yang diajukan baru-baru ini
mengenai serangan panik itu sendiri (Bouton, Mineka, & Barlow, 2001). Poin
utama teori tersebut adalah serangan panik menjadi terkondisi secara klasikal
pada sensasi fisik internal yang ditimbulkan oleh kecemasan. Teori kedua
mengenai gangguan panik juga memfokuskan pada gejala-gejala awal suatu
serangan. Namun menekankan pada kesalahan interpretasi yang bersifat merusak
terhadap stimuli ini (Clark, 1996).
Terapi untuk Gangguan Panik dan
Agorafobia
Terapi bagi gangguan panik mencakup
pendekatan biologis dan psikologis. Beberapa di antaranya memiliki cukup
kesamaan dengan penanganan yang telah dibahas bagi fobia.
Penanganan Biologis, karena
penderita gangguan panik biasanya berkonsultasi dengan dokter sebelum mereka
menemui psikolog atau psikiater, pengobatan psikoaktif umumnya merupakan
penanganan awal dan terkadang satu-satunya jenis penanganan yang diterima
seseorang. Pemasaran besar-besaran obat-obat anti panik melalui media
kemungkinan juga merupakan suatu faktor. Beberapa obat telah menunjukkan
keberhasilan sebagai penanganan biologis bagi gangguan panik. Obat-obatan
tersebut mencakup antidepresan (penghambat pengembalian serotonin selektif,
seperti Prozac, dan antidepresan tiga siklus seperti Tofranil) dan
benzodiazepine (seperti Alprazolam atau Xanax) (Roy-Byrne & Cowley, 1998).
Bukti efektivitas Alprazolam sangat menyakinkan karena diperoleh melalui studi
berskala besar dan multinasional (Ballenger dkk., 1998).
Penanganan Psikologis, terapi
dengan memberikan pemaparan seringkali berguna untuk mengurangi agorafobia
(atau, dalam istilah DSM-IV-R, gangguan panik dengan agorafobia), dan
keuntungan ini sangat dipertahankan selama bertahun-tahun setalh selesainya
terapi (Fava dkk, 1995). Beberapa studi menemukan bahwa efek pemaparan
meningkat bila pasien didorong untuk rileks selama pemaparan langsung (a.l,.
Michelson, Marchione, & Greenwald, 1989), namun beberapa studi lain tidak
menunjukkan manfaat tambahan dari relaksasi (a.l,. Ost, Hellstrom, & Westling,
1989). Menangani agorafobia melalui pemaparan tidak selalu mengurangi
serangan panik (Michelson,
Mavissakalian, & Marchione, 1985). Dengan demikian, penanganan psikologis
terhadap gangguan panik telah berubah arah dalam beberapa tahun terakhir, memfokuskan
pada penemuan yang disebutkan sebelumnya bahwa beberapa pasien mengalami
kekhawatiran yang berlebihan ketika merasakan berbagai sensasi fisik yang tidak
berbahaya dan bereaksi secara berlebihan. Suatu terapi yang divalidasi dengan
baik yang dikembangkan oleh Barlow dan rekan-rekannya dan disebut terapi
pengendalian kepanikan (PCT-panic control
therapy) memiliki tiga komponen utama:
1. Training
relaksasi
2. Kombinasi
intervensi behavioral kognitif dari Ellis dan Beck
3. Bagian
terbaru, pemaparan dengan tanda-tanda internal yang memicu kepanikan (Barlow,
1988; Barlow & Craske, 1994; Craske & Bbarlow, 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar