Pages

Sabtu, 26 September 2015

GANGGUAN PANIK




Dalam gangguan panik seseorang mengalami serangan mendadak dan seringkali tidak dapat dijelaskan dalam bentuk serangkaian simtom yang tidak mengenakkan-kesulitan bernapas, jantung berdebar, mual, nyeri dada, merasa seperti tersedak, dan tercekik, pusing, berkeringat, dan gemetar; serta kecemasan yang sangat dalam, teror dan merasa seolah akan mati. Depersonalisasi, perasaan seolah berada di luartubuh, dan derealisasi, suatu perasaan bahwa dunia tidak nyata, juga ketakutan kehilangan kendali, menjadi gila, atau bahkan mati dapat memenuhi dan menguasai pasien. Serangan panik dapat sering terjadi, mungkin sekali dalam seminggu atau lebih sering lagi; biasanya berlangsung selama beberapa menit, jarang dalam hitungan jam; dan kadangkala berkaiatan dengan situasi spesifik, seperti menegendarai mobil. Jika sangat terkait dengan pemicu situasional, disebut serangan panik berisyarat (cued panic attacks). Jika terdapat hubungan antara stimulus dengan serangan namun tidak sangat kuat, serangan disebut sebagai serangan yang dipicu secara situasional. Serangan panik juga dapat terjadi dalam kondisi yang tampaknya tenang, seperti relaksasi, dalam tidur, dan dalam situasi yang tidak terduga; dalam kasus-kasus ini disebut sebagai serangan tanpa isyarat (incued attacks). Serangan tanpa isyarat yang berulang dan khawatir mengalami serangan pada masa mendatang merupakan prasyarat diagnosis gangguan panik., namun serangan panik sendiri cukup banyak terjadi-antara 3 hingga 5 persen dalama populasi umum setiap tahunnya-pada orang-orang yang tidak memenuhi kriteria gangguan panik (Norton, Cox, & Malan, 1992). Terjadinya serangan berisyarat saja kemungkinan besar menanadakan adanya fobia.
Dalam DSM-IV-TR gangguan panik didiagnosis dengan atau tanpa agorafobia. Agorafobia (dari bahasa Yunani agora, yang berarti “daerah pasar”). Adalah sekumpulan rasa takut pada tempat-tempat umum dan ketidakmampuan melarikan diri atau mendapatkan pertolongan bila menjadi lemah oleh kecemasan. Banyak pasien yang menderita agorafobia tidak mampu keluar rumah atau melakukannya dengan penderitaan yang sangat. para pasien yang mederita gangguan panik umumnya menghindari situasi di mana serangan panik dapat berbahaya atau memalukan. Jika penghindaran tersebut meluas, hasilnya adalah panik dengan agorafobia. (Jika agorafobia muncul tanpa gangguan panik yang dapat didiagnosis , umumnya orang tersebut mengalami simtom-simtom panik, namun bukan serangan penuh. Dengan demikian, dalam kedua kasus agorafobia berkaiatan dengan ketakutan mengalami serangan). Gangguan panik dengan agorafobia atau agorafobia tanpa riwayat gangguan panik lebih banyak terjadi pada perempuan dibanding pada laki-laki.
Kriteria DSM-IV-TR untuk Gangguan Panik 
  • Serangan panik yang berulang tanpa terduga
  • Sekurang-kurangnya selama satu bulan terdapat kekhawatiran akan terjadinya serangan berikutnya atau kekhawatiran atas konsekuensi yang diterima ketika serangan terjadi, atau perubahan perilaku karena serangan yang dialami
Etiologi Gangguan Panik
Dua teori yaitu biologis dan psikologis telah digunakan untuk menjelaskan gangguan panik.
Teori Biologis, dalam beberapa kasus, sensasi fisik yang disebabkan oleh suatu contoh penyakit memicu beberapa orang mengalami gangguan panik. Gangguan panik diturunkan dalam keluarga dan memilki kesesuaian yang lebih besar pada kembar MZ (kembar identik) dibanding pada kembar DZ (kembar dua telur). Dengan demikian, suatu diathesis genetik mungkin berpengaruh (Hettema, Neale, & Kendler, 2001).
Aktivitas Noradrenergik, teori biologi lain menyatakan bahwa panik disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan dalam sistem noradrenergik (neuron yang menggunakan norefinefrin sebagai neurotransmiter). Salah satu versi teori ini memfokuskan pada nukleas dalam pons yang disebut locus cereleus.   
Menciptakan serangan panik secara eksperimen, penelitian biologi lain memfokuskan pada manipulasi eksperimental yangdapat menimbulkan serangan panik. Salah satu pendekatan berpendapat bahwa serangan panik berhubungan dengan hiperventilasi atau pernapasan yang berlebihan (Ley, 1987). Hiperventilasi dpat mengaktivasi sitem saraf otonom, sekaligus memicu aspek-aspek somatik yang tidak asing dalam suatu episode panik. Data yang mengindikasikan bahwa beragam faktor biologis  (a.l,. karbon dioksida, hiperventilasi) dapat menyebabkan serangan panik juga menunjukkan bahwa hal itu dapat terjadi hanya pada orang-orang yang telah didiagnosis menderita gangguan tersebut  atau pada mereka yang memilki ketakutan besar terhadap sensasi tubuh mereka sendiri (Zinbarg dkk., 2001).
Teori Psikologis, teori psikologis utama mengenai agorafobia yang sering menyertai gangguan panik adalah hipotesis ketakutan-terhadap-ketakutan (a.l,. Goldstein & Chambless, 1978), yang berpendapat bahwa agorafobia bukanlah ketakutan terhadap tempat-tempat umum itu sendiri, melainkan ketakutan mengalami serangan panik di tempat umum.
Classical conditioning dan perbedaan antara kecemasan dan panik menjadi dasar satu teori yang diajukan baru-baru ini mengenai serangan panik itu sendiri (Bouton, Mineka, & Barlow, 2001). Poin utama teori tersebut adalah serangan panik menjadi terkondisi secara klasikal pada sensasi fisik internal yang ditimbulkan oleh kecemasan. Teori kedua mengenai gangguan panik juga memfokuskan pada gejala-gejala awal suatu serangan. Namun menekankan pada kesalahan interpretasi yang bersifat merusak terhadap stimuli ini (Clark, 1996).
 Terapi untuk Gangguan Panik dan Agorafobia
Terapi bagi gangguan panik mencakup pendekatan biologis dan psikologis. Beberapa di antaranya memiliki cukup kesamaan dengan penanganan yang telah dibahas bagi fobia.
Penanganan Biologis, karena penderita gangguan panik biasanya berkonsultasi dengan dokter sebelum mereka menemui psikolog atau psikiater, pengobatan psikoaktif umumnya merupakan penanganan awal dan terkadang satu-satunya jenis penanganan yang diterima seseorang. Pemasaran besar-besaran obat-obat anti panik melalui media kemungkinan juga merupakan suatu faktor. Beberapa obat telah menunjukkan keberhasilan sebagai penanganan biologis bagi gangguan panik. Obat-obatan tersebut mencakup antidepresan (penghambat pengembalian serotonin selektif, seperti Prozac, dan antidepresan tiga siklus seperti Tofranil) dan benzodiazepine (seperti Alprazolam atau Xanax) (Roy-Byrne & Cowley, 1998). Bukti efektivitas Alprazolam sangat menyakinkan karena diperoleh melalui studi berskala besar dan multinasional (Ballenger dkk., 1998).
Penanganan Psikologis, terapi dengan memberikan pemaparan seringkali berguna untuk mengurangi agorafobia (atau, dalam istilah DSM-IV-R, gangguan panik dengan agorafobia), dan keuntungan ini sangat dipertahankan selama bertahun-tahun setalh selesainya terapi (Fava dkk, 1995). Beberapa studi menemukan bahwa efek pemaparan meningkat bila pasien didorong untuk rileks selama pemaparan langsung (a.l,. Michelson, Marchione, & Greenwald, 1989), namun beberapa studi lain tidak menunjukkan manfaat tambahan dari relaksasi (a.l,. Ost, Hellstrom, & Westling, 1989). Menangani agorafobia melalui pemaparan tidak selalu mengurangi serangan  panik (Michelson, Mavissakalian, & Marchione, 1985). Dengan demikian, penanganan psikologis terhadap gangguan panik telah berubah arah dalam beberapa tahun terakhir, memfokuskan pada penemuan yang disebutkan sebelumnya bahwa beberapa pasien mengalami kekhawatiran yang berlebihan ketika merasakan berbagai sensasi fisik yang tidak berbahaya dan bereaksi secara berlebihan. Suatu terapi yang divalidasi dengan baik yang dikembangkan oleh Barlow dan rekan-rekannya dan disebut terapi pengendalian kepanikan (PCT-panic control therapy) memiliki tiga komponen utama:
1.       Training relaksasi
2.       Kombinasi intervensi behavioral kognitif dari Ellis dan Beck
3.       Bagian terbaru, pemaparan dengan tanda-tanda internal yang memicu kepanikan (Barlow, 1988; Barlow & Craske, 1994; Craske & Bbarlow, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar